Foto: Istimewa/dokumen Pemerintah desa Megawon |
Kudus,
parist.id – Tari Bun Ya Ho merupakan tari kreasi khas dari desa Megawon, Jati, Kudus. Tari yang mengandung
arti mengajak masyarakat melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Berbekal makna tersebut, tari Bun
Ya Ho seakan mengajak masyarakat bangkit menuju perubahan kebaikan dunia dan akhirat.
Pagi
itu, Jum’at (19/03/21) pukul 10.00 WIB kami berangkat dari aula TPQ Al Ma’roef,
Ngembal, Bae Kudus menuju Balai Desa Megawon, Kudus untuk menemui Zaenuri. Berbekal
sepeda motor, hanya butuh sepuluh menit untuk mengantarkan kami
ke lokasi tujuan.
Zaenuri
(46), Kepala Urusan Perencanaan desa Megawon yang sudah dihubungi tempo hari
menyambut kami dengan sumringah. Setelah memperkenalkan diri, kami pun
menyampaikan maksud kedatangan kami untuk menggali informasi tentang Tari Bun
Ya Ho yang belum diketahui banyak orang.
“Tari
Bun Ya Ho adalah tari kreasi khas
dari Megawon,“ kata
Zaenuri membuka obrolan. Dengan cakap ia menjelaskan asal
usul kata Bun Ya Ho yang diambil dari
bahasa arab. Kata
bun diambil dari kata bana yang
mempunyai
arti bangkitlah atau bangunlah. Lalu kata ya berarti wahai atau hai, dan ho
dari kata khaira berarti
kebaikan. Sehingga tari Bun Ya Ho ini mengandung
arti untuk mengajak amar ma’ruf nahi mungkar.
Zaenuri
melanjutkan, asal muasal tari ini dibawa oleh seorang ulama bernama kiai Abdul
Jalil pada tahun 1950. Sosok yang akrab disapa M. Tamzid. Beliau memperkenalkan
tari Bun Ya Ho ketika Islam di desa Megawon masih sangat minim.
“Hanya
beberapa rumah yang sifatnya agamis dan sisanya masyarakat abangan,” ujar Zaenuri dengan nada santai.
Tari
Bun Ya Ho dimainkan oleh 20 orang perempuan yang terbagi menjadi dua kelompok, kelompok
pertama berperan sebagai pengajak kebaikan dan kelompok kedua sebagai kelompok
yang diperangi. Dari data yang ditunjukkan Zaenuri, tari ini mempunyai ciri
khas lima orang menaiki kendi sambil menari
“Setiap
penari dituntut untuk menjaga keseimbangan, lima orang ini memiliki makna lima
rukun islam, shalat fardhu dan tombo ati,” paparnya.
Tari
ini juga dikolaborasikan dengan alunan terbang
papat sejumlah 10-15 laki-laki, Terdiri
dari empat penabuh terbang, satu penabuh jidur, dan selebihnya sebagai vokalis.
Selain itu, terdapat dua orang sebagai pembaca do’a di akhir tari.
Saat
dihubungi secara terpisah, Erwin Anjastuti, ketua pelatih tari Bun Ya Ho
memaparkan alur cerita dalam tarian tersebut. Erwin menjelaskan bahwa setiap kelompok
mempunyai peran yang berbeda-beda.
“Kelompok
pertama memiliki peran menyeru kebaikan, sedangkan kelompok kedua sebagai tim
perang menggambarkan kondisi masyarakat yang bobrok (rusak –red),” jelasnya.
Di
akhir cerita, kedua kelompok dapat bersatu dengan mengajak kebaikan amar ma’ruf nahi mungkar. Lalu,
ditutup dengan pertunjukan menaiki kendi tanpa menimbulkan kendi terpecah.
“Maknanya kita harus menjaga
keseimbangan dunia maupun akhirat dan pengendalian diri terhadap hal-hal
maksiat. Di samping
itu, menaiki kendi sebagai pertunjukan atraksi yang menarik perhatian penonton,” ungkap Erwin.
Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP. PKK) desa Megawon itu juga menyampaikan bahwa tari ini berlangsung dengan diiringi oleh terbang papat dan ditutup dengan doa
sapu jagat oleh dua laki-laki. Tujuannya adalah untuk memanjatkan doa keselamatan dan kemakmuran di Desa Megawon.
“Semua
penari bergandengan tangan mengelilingi gunungan
lanang, dan gunungan wadon yang
isinya masing-masing wilayah sebagai simbol kemakmuran,” sambung Erwin.
Pertunjukan
tari Bun Ya Ho biasanya
dimainkan saat hari-hari besar Islam seperti hari maulid nabi, isra mikraj, maupun
hari nasional. Meskipun sebelumnya hanya dimainkan di masjid saja, kini pertunjukan
seni ini dimainkan saat acara aqiqahan, pernikahan, khitanan, dan acara
lainnya.
“Jadi,
prosesi Apitan dan tarian Bun Ya Ho tidak
bisa dipisahkan dalam tradisi Apitan,” pungkasnya.
Saat
ini peminat tari Bun Ya Ho semakin sedikit karena
hanya digandrungi oleh kaum perempuan saja. Sehingga, pemerintah berencana
untuk menggandeng kembali para kaum remaja pria dengan membangun grup penari Bun
Ya Ho laki-laki. Keberadaan tari Bun Ya Ho yang baru eksis dengan generasi
sedikit membuat pemerintah desa Megawon tidak ingin kehilangan lagi warisan budaya yang tak
ternilai.
Oleh
karena itu, masyarakat desa akan terus melestarikan tari ini sampai anak cucu
nanti dengan cara usaha dan mengadakan pelatihan tari tersebut.
Baik
Erwin maupun Zaenuri sama-sama berharap tari ini terus dilesrtarikan dan
diwariskan kepada generasi selanjutnya. “Bun Ya Ho merupakan warisan budaya
yang tidak ternilai dan tidak bisa dihargai dengan uang, dan tidak semua desa
mempunyai tari, Mbak,” tegas Zaenuri. (Alfia, Rina/Magang)