Foto: Istimewa |
Identitas Buku
Penulis : Zakaria al-Anshari
Penerbit :
TUROS PUSTAKA
ISBN :
978-623-7327-47-9
Halaman : 192
Halaman
Cetakan :
Pertama, Oktober 2020
Peresensi : M.Rizal
Bermacam ujian pada hakikatnya
adalah hamparan pemberian. Datangnya cobaan tak hanya meniscayakan kesabaran, tetapi
juga segala upaya untuk menghadapi cobaan tersebut. Karena dibalik cobaan itu
pasti ada karunia dan rahmat Allah untuk hamba-Nya yang beriman.
Sudah lebih dari setahun pandemi
Covid-19 menghantui seluruh umat manusia. Melihat realitas global yang
menerjang tatanan kehidupan umat manusia dari level internasional, hingga rumah
tangga, Covid-19 ini sudah menjadi musibah yang mengglobal. Nyatanya virus satu
ini telah menyerang banyak orang tanpa memandang negara, agama, suku, ataupun
strata sosial lainnya, maka tak heran jika Covid-19 disebut sebagai pandemi.
WHO (World Health Organization atau
Badan Kesehatan Dunia) secara resmi telah mendeklarasikan bahwa virus corona
sebagai pandemi pada tanggal 9 Maret 2020. Artinya, virus ini telah menyebar
secara luas di dunia. Meskipun istilah pandemi terkesan menakutkan tapi
sebenarnya itu tidak ada kaitannya dengan keganasan suatu penyakit, melainkan lebih
pada penyebarannya yang meluas.
Pandemi sendiri bukanlah peristiwa
baru yang dialami oleh umat manusia. Kaum muslim sudah menghadapinya sejak masa
Rasulullah saw. sampai pada masa khalifah Umar yaitu wabah taun yang terjadi di
Syam. Dikisahkan Umar membatalkan kunjungannya ke negeri Syam di tengah
perjalanan. Keputusan Umar menuai kontroversi di kalangan sahabat. Sebagian
sahabat menyangka bahwa Umar telah melarikan diri dari taun. Ketika ditanya
oleh Abu Ubaidah mengenai mengapa dirinya lari dari takdir Allah. Umar pun
berkata, “ kalau saja bukan engkau yang berkata seperti itu, wahai Abu Ubaidah
(Umar tidak suka ada orang yang menyelisihinya). Iya, kita lari dari satu
takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”(Hlm. 73)
Keputusan Umar untuk tidak
mendatangi daerah yang dilanda wabah penyakit tidak semata-mata karena
keinginannya sendiri melainkan karena Nabi pernah bersabda mengenai cara
menghadapi wabah penyakit. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
yang berbunyi “Apabila kalian mendengar
taun terjadi di suatu tempat, maka janganlah kalian datangi tempat itu; dan
apabila itu terjadi di suatu tempat yang kalian berada di situ, maka janganlah
kalian keluar untuk melarikan diri darinya.” Melalui sabdanya, Nabi telah
mengajarkan kepada kita dengan apa yang kita sebut sekarang dengan ‘karantina’, dengan tujuan agar
penyakit tidak menular kepada orang lain dan menyebar kemana-mana.
Maka keliru kiranya jika ada yang
beranggapan bahwa Islam tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi pandemi.
Karena protokol kesehatan yang diterapkan sekarang oleh pemerintah untuk
memutus rantai penyebaran covid-19. Seperti tidak keluar rumah atau bepergian
ke daerah wabah, menjaga jarak dan tidak berkerumun, serta seruan untuk menjaga
imunitas tubuh, dan lain-lain; ternyata sudah dipraktikkan sejak zaman dulu,
dan itu didasarkan pada dalil-dalil syar’i.
Islam telah mengajarkan kita untuk
pasrah dan tawakkal kepada Allah ketika terjadi pandemi seperti sekarang. Namun
sebelum tawakkal, tentunya ada tindakan seorang hamba untuk mencari berbagai
solusi dalam menghadapi bencana atau musibah. Usaha inilah yang disebut dengan
ikhtiar. Contoh ikhtiar ketika pandemi adalah seperti menerapkan lockdown yang mana seseorang akan
dilarang keluar dari wilayah yang terkena wabah ataupun masuk ke daerah wabah.
Karena Allah sendiri telah menetapkan pahala bagi orang yang bertahan di daerah
yang terjangkit wabah sembari bersabar dan berharap pahala dari Allah, dimana
besarnya pahala itu setara dengan pahala orang syahid (Hlm. 81).
Demikian pula dengan konsep social distancing yang mengatur jarak
antara individu dengan individu lainnya. Bahkan Rasulullah melarang para
sahabat untuk dekat-dekat dengan penderita kusta, sebagaimana dalam sabdanya: ”Janganlah kalian terus-menerus melihat
orang yang mengidap penyakit kusta (HR. al-Bukhari).” Semua tindakan ini
adalah sebagai wujud nyata dari konsep tawakal. Karena Allah tidak akan merubah
nasib suatu kaum sehingga mereka berupaya dengan sungguh-sungguh untuk merubah
nasibnya.
Buku terjemahan Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Amr ath-Thawa’in ini merupakan salah
satu kitab yang menjelaskan tentang wabah. Buku ini ditulis oleh ulama yang
dikenal sebagai mujaddid(pembaharu)
abad ke-10 Hijriah. Buku ini merupakan buku kedua yang menjelaskan pandemi
dalam Islam. Karena ada karangan Ibnu Hajar al-Asqalani yang juga menjelaskan
pandemi yaitu kitab Badzl al-Ma’un fi
Fadhl ath-Tha’un. Akan tetapi kitab ini sangat detail sekali sehingga orang
awam termasuk para muridnya sulit untuk memahaminya.
Imam Zakaria berinisiatif meringkas
kitab itu menjadi 14 pasal dengan menghilangkan bagian tertentu yang
diulang-ulang atau hal-hal yang keluar dari tujuan yang diinginkan oleh
mayoritas sahabat-sahabat kami (hlm. 2). Buku terjemahan ini secara garis besar
berisi berbagai hal yang berkaitan dengan wabah taun, seperti hukum taun, waktu
terjadinya taun, sejarah fenomena wabah taun dalam Islam, doa-doa yang
dianjurkan ulama ketika masa pandemi, dan kisah Umar yang membatalkan
kunjungannya ke negeri Syam di tengah perjalanan serta masih banyak pembahasan
yang lain.
Keunggulan buku ini dapat dilihat
dari beberapa aspek. Pertama, buku ini
merupakan buku klasik yang merekam fenomena wabah taun yang dialami kaum
muslimin sejak masa Rasulullah SAW. Kedua,
buku ini adalah ringkasan kitab wabah dan taun karya Ibnu Hajar
al-Asqalani, yang mana kitab beliau sangat mendetail dan terlalu banyak riwayat
yang dikutip sehingga terasa sulit bagi banyak orang termasuk para muridnya.
Maka Imam Zakaria meringkas karya sang guru (Ibnu Hajar al-Asqalani) sekaligus
menambah poin-poin penting dan kejadian yang belum terekam sebelumnya. Ketiga, buku ini juga dilengkapi FAQ
tentang covid-19 dan diparipurnai dengan teks Arab kitab aslinya.
Dari sini saya kira hal yang paling
penting dalam menghadapi sebuah pandemi adalah meminta perlindungan kepada
Allah dari wabah, bersabar menghadapi qada’
yang Allah telah tetapkan dan bersikap ridha terhadap takdir yang Allah
telah gariskan (Hlm. 93). Disebutkan dalam Hadis bahwa orang yang dikehendaki
baik oleh Allah akan diberikan sebuah musibah kepadanya sebagai tolak ukur
apakah ia akan bersabar atau tidak. Dan yang paling pokok dari semuanya adalah
berprasangka baik kepada Allah swt. Caranya, yaitu orang yang bersangkutan
merasa bahwa dirinya adalah hamba Allah yang harus menerima terhadap ketentuan
Tuhannya, bahwa rahmat Allah lebih luas dari musibah yang Allah berikan, dan
juga Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya di luar batas
kemampuan hamba tersebut.
Buku ini sangat cocok untuk dibaca
oleh setiap kalangan, apalagi di waktu pandemi seperti sekarang. Dengan membaca
dan menelaah pasal demi pasal dalam buku ini, kita akan mendapatkan pencerahan
dan berbagai solusi agar kita tetap sehat dan selamat dalam menjalani aktivitas
sehari-hari di masa pandemi. Tentunya solusi-solusi itu berlandaskan pada
dalil-dalil syari’at. Selamat Membaca. Wallahu
A’lam.(*)
*M.Rizal, Santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Selatan dan Mahasiswa INSTIKA Guluk-Guluk Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Semester II