VIRTUAL: Tangkapan layar webinar penambangan pasir laut di perairan Jepara, Sabtu (10/04). Foto: Hasyim/Paragraph |
Jepara, parist.id – Rencana penambangan pasir laut di perairan Jepara menuai pro kontra dari banyak pihak. Tidak adanya transparansi dari pihak perusahaan dan pemerintah setempat sangat merugikan masyarakat warga desa Balong yang terdampak langsung.
Proyek yang tergabung dalam Penambangan Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) ini melahirkan produksi krisis yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan pelayanan hak asasi manusia di daerah pesisir Semarang dan Jawa Tengah.
Hal ini disampaikan oleh Cornel Gea, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dalam webinar ‘Penambangan Pasir Laut di Perairan Jepara’ yang diadakan oleh Wahana Pencinta Alam dan Lingkungan Hidup (WAPALHI) Fakultas Sosial Humaniora (FSH) Universitas Islam Nahdlotul Ulama (UNISNU) Jepara, pada Sabtu (10/04).
Dimoderatori oleh Amrina Rosyada, dosen FSH UNISNU Jepara, webinar ini mengangkat tema “Menyoal Rencana Penambangan Pasir Laut Dalam Perspektif Hukum, Keadilan Sosial, Dan Ekonomi Untuk Pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD).”
Cornel mengatakan pembangunan tanggul akan menambah pembebanan fisik yang mengakibatkan penurunan tanah dan rob di wilayah Semarang semakin parah.
“Proyek ini akan melahirkan ekspansi industri di daerah Semarang, Kendal, Demak dan sekitarnya. Lebih parahnya lagi, akan menutup jalur (aliran air dari-red) sungai ke laut,” kata Cornel.
Lebih lanjut, Cornel mempertanyakan kedudukan hukum proyek TTLSD ini karena terlalu banyak pemaksaan peraturan yang melanggar asas otonomi daerah.
“Aturan ini ngawur karena untuk mengatur tata ruang perlu memahami kondisi daerah. Dan mereka (perusahaan-red) juga tidak punya kapasitas dan kualitas untuk menangani hal tersebut,” jelasnya.
Penerabasan terhadap pengaturan penataan ruang dapat dilihat sebagai bentuk pembangkangan hukum dan tindakan yang sewenang-wenang. Jika diurai Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) dari proyek ini, sambung Cornel, ada tiga kelemahan yang ditemui antara lain analisisnya sempit, konsultasi ruang publik tidak melibatkan kelompok kritis, dan berpotensi pada perubahan air laut, ambles tanah, dan banjir rob di Semarang.
“Bahkan dalam Andal ini tidak ditemukan siapa penanggungjawabnya, siapa ahli yang menanganinya,” tandasnya.
Berbeda dengan pernyataan Cornel, Dite Suprobo, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Tengah menyatakan urugan pasir dari pihak ketiga sudah berijin. Ia mengungkapkan terkait Andal sudah melalui kajian ilmiah step by step.
“Kita sudah pikirkan dari awal, Andal sedang dalam proses perencanaan, kewenangan kita hanya skala kecil, kelayakan, operasional, sementara penilaian dari pusat,” ungkapnya.
Terkait masalah ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jepara, Helmi Ferdian mengatakan pihaknya juga mengaku tidak tahu menahu terkait proyek ini.
“Terus terang kami tidak tahu mengenai masalah ini, kami berulang kali menjelaskan kami juga kaget,” ujarnya.
Helmi menambahkan, pihaknya tidak bisa menghentikan atau mencegah proses pembangunan ini. Yang jelas, kata Helmi, saat ini kegiatan perijinan pasir laut di desa Balong baru memasuki tahap konsultasi publik.
Sedangkan, Dafiq, perwakilan warga Balong, mengatakan masyarakat desa Balong tidak pernah mendapat konfirmasi terkait rencana pembangunan tersebut. Dafiq menyatakan ini menjadi persoalan yang sangat riskan karena saat ini sudah terjadi abrasi yang sangat luar biasa di desa Balong.
“Kami tidak ingin dua kasus Andal di tahun 2018 terulang kembali, kami trauma,” katanya.
Dafiq mengungkapkan selama ini tidak ada transparansi dari pihak perusahaan dan pemerintah terkait pembangunan ini. Bahkan, pihak perusahaan berani membeli tanda tangan masyarakat agar menyetujui proyek ini.
“Perusahaan datang membeli tanda tangan satu orang 50 ribu, ya kami marah,” tegasnya.
Ia berharap kegelisahan masyarakat desa Balong didengar dan diperhatikan oleh pemerintah, melihat kondisi saat ini yang sangat memprihatinkan.
“Tolong jangan bodohi kami, jujurlah kepada masyarakat, jangan hanya ketika ada nilai ekonomi, mereka mengklaim itu wilayahnya,” pungkas Dafiq. (Hasyim)