Di hari Minggu mereka berkencan dengan buku. Menghabiskan seharian penuh untuk memahami isinya. Selayaknya perempuan, memahami buku memang perlu waktu. Dan mereka berusaha merayunya agar bisa menghasilkan anak asuh bernama resensi.
Bulan Ramadan biasanya selalu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang islami. Bagi mahasiswa, kegiatan berbagi takjil, buka bersama, kultum sudah barang tentu menjadi hal yang lumrah untuk mengisi agenda Ramadan.
Berbeda dengan LPM Paradigma, tanpa sedikitpun mengurangi rasa syukur datangnya bulan suci ini, LPM Paradigma menyambutnya dengan cara yang sedikit berbeda.
Acara itu bertajuk kataman kata. Jika biasanya kita hanya mendengar sebutan kataman alquran, kali ini kita menyebutnya kataman kata. Bedanya, tidak hanya alquran yang dikhatamkan, tetapi buku juga. Sudah tidak asing lagi jika anak pers harus familiar dengan dua hal ini; buku dan kepenulisan.
Acara hari itu berlangsung selama dua hari. Materi kepenulisan berupa resensi diberikan secara online, Sabtu (01/05) sedang sehari setelahnya (02/05) praktik menulis bersama-sama, secara offline. Kalau kata Pimpinan Umum LPM Paradigma, Muhammad Fatwa Fauzian, biar dapat feel-nya, katanya.
Sebenarnya agenda ini merupakan program kerja divisi Qov Sastra. Sesuai namanya, divisi ini bergerak pada bidang sastra. Pada kataman kata ke delapan ini, mereka ingin berlatih menulis resensi.
Indra Tjahyadi, dosen sastra Universitas Panca Marga yang diundang untuk mengisi materi hari itu menyampaikan bahwa resensi tidak hanya sekadar menceritakan isi buku. Lebih dari itu, penulis juga perlu mengulas kekurangan dan kelebihan buku.
Selain menyampaikan materi, ia juga memotivasi anggota LPM Paradigma untuk terus berlatih menulis, termasuk menulis resensi ke media. Katanya, aktif di lembaga pers menjadi sesuatu yang penting, karena terkadang kegagalan seseorang untuk maju karena ia tidak mau menulis.
Sedikitnya, ada 17 anggota yang ikut kataman kata ini. Jumlah ini adalah separuhnya dari jumlah anggota yang mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat dasar, pelatihan awal untuk anggota baru.
Untuk mengikuti pelatihan ini, ada syarat wajib yang harus dipenuhi oleh teman-teman paradigma. Mereka harus menghatamkan satu buku yang akan dijadikan bahan menulis. Tidak hanya membaca, mereka juga dituntut untuk memahami isi dari buku yang dibaca.
Ada banyak tantangan yang dihadapi teman-teman ketika menulis resensi. Ada yang bingung membuat judulnya, ada yang mandek di tengah paragraf, ada kurang memahami isi buku, bahkan ada yang belum selesai membaca bukunya. Tantangan yang harus mereka selesaikan jam 14.00 siang untuk dievaluasi.
Yang menarik dari evaluasi kemarin adalah teman-teman tidak perlu mengumpulkan file resensi untuk diulas satu per satu. Mereka hanya perlu mempresentasikan apa yang ditulis kepada para evaluator. Dari presentasi itu dapat dilihat seberapa jauh pemahaman mereka terhadap buku dan resensi.
Secara keseluruhan, temen-temen hanya menyampaikan kesimpulan dari buku yang dibaca. Padahal, menurut Muhammad Farid, Redaktur Suara Nahdliyyin, resensi tidak sesederhana itu.
Ketika menulis resensi, peresensi harus mampu memahami apa maksud penulis dalam buku itu. Setelah itu peresensi dituntut untuk menafsirkan maksud penulis buku ke dalam resensinya.
Selain itu, teman-teman Paradigma juga diminta untuk memperhatikan pemilihan diksi dalam judul resensi. Farid menjelaskan bahwa judul resensi lebih identik dengan judul berita atau opini. Berbeda dengan judul cerpen, yang menurutnya lebih mirip dengan judul esai.
Meskipun demikian, apresiasi tetap diberikan kepada semua anggota yang mau menulis, mau memulai untuk menulis. Ini adalah langkah awal teman-teman di LPM Paradigma. Satu hal yang perlu ditekankan adalah terus berproses dalam dunia kepenulisan, barangkali ada satu dua tulisan yang bisa dimuat di media.
Kami berharap ini bukan terakhir kali teman-teman berlatih menulis. Akan ada pertemuan-pertemuan berikutnya, bersama-sama melatih kecakapan kita dalam menulis. Seperti judul di tulisan ini, yang fana adalah waktu, karya abadi.
Menulislah agar kamu abadi dalam karya. Karya akan menjadi bukti bahwa kita pernah hidup. Bukan seberapa banyak kita belajar teori kepenulisan, melainkan seberapa besar kemauan kita untuk mulai menulis.
Hasyim Asnawi, bergiat di Paradigma Institute