Ilustrasi: Anam/Paragraph |
Oleh: Gibranis*
Hidup dan takdir Tuhan adalah sebuah partikel yang tidak dapat dipisahkan. Bisa jadi kita adalah sebuah unsur zat yang memiliki senyawa, beberapa senyawa yang bertemu hanya mempunyai dua pilihan, akan bereaksi menghasilkan senyawa baru atau tidak bereaksi dan akhirnya hanya saling diam, mungkin orang akan menganggapnya sebuah serendipity.
Aku ingin menulis sebuah narasi, tentang petrichor
dan kopi yang dinikmati seorang gadis hari ini. Ada yang sedang ia kalahkan
dalam diri, tentang ego, ingin, dan harapan yang telah terkebiri. Gadis itu
menikmati melodi alam yang begitu perih jatuh ke bumi, diam mungkin jadi kata
paling puisi untuk laratnya rasa yang tak kunjung temui solusi. Ada yang
meninggalkan dunianya secara tiba-tiba, ia membawa separuh jiwa yang dibesarkan
dengan ketulusan. Di sudut jendela coffe shop ini tempat paling favorit untuk
merenungkan yang terjadi, ah! Sial, kenapa aku mendadak jadi peramal untuk
gadis ini.
Tidak ada yang dilakukan oleh gadis ini, Ia melihat
meja-meja yang dipenuhi pengunjung dengan orang tersayang, mereka tampak
bahagia dengan tawa dan canda yang terlepas dari bibirnya. Sesekali tatapan
gadis itu juga mengarah ke tempat barista meracik kopi. Gadis pecandu sepi,
kopi dan senja ini tidak pernah absen untuk melakukan ibadah ngopi di coffe
shop ini. Lihat saja, begitu nikmatnya Ia mencium aroma kopi yang telah ditunggu
beberapa menit lalu, maklum saja, coffe shop hari ini begitu ramai. Entah sejak
kapan gadis ini jadi pencandu kopi, yang pasti kopi adalah teman terbaik dalam
segala perayaan suasana hati.
Beberapa buku yang ia bawa telah tertumpuk rapi di
sisi kanan, halaman-halaman yang belum juga diselesaikan terus saja merayu
untuk segera dihabiskan. Namun apa daya, hanya kosong yang menjadi penghuni
pikiran gadis itu saat ini. Bahkan kopi yang sedari tadi ditunggu tidak lagi
membuatnya berselera untuk menikmati kentalnya pahit yang tersisa di tenggorokan.
Tampaknya gadis ini sedang patah hati, begitu dalam.
Entah sudah berapa jam Ia duduk di meja ini,
menyesap sunyi di antara ramai yang riuh memenuhi, mungkinkah Tuhan akan serta
merta menghadirkan apa yang dipikirkan di sini untuk terakhir kali? Sebuah
ketidakmungkinan yang selalu disemogakan, bagiku ini adalah kebodohan. Gadis
melankolis itu menenggelamkan kepalanya di atas tumpukan buku, sesekali
menegakkan kepala dan mencari di mana kopinya, seteguk dua teguk mampu
meredakan sejenak kalutnya. Kopi itu hampir dingin, tidak ada lagi hangat yang
tawarkan waitress tadi. Sesekali mata sipit itu menyapu ke setiap sudut
ruangan, melihat orang-orang yang datang dan keluar, sisanya menenggelamkan dan
mengangkat kepala berkali-kali.
Di sudut matanya yang air, kaca itu telah pecah
berkeping-keping, aku melihat sebuah bayangan retak bersama ingin. Anak-anak
mimpi enggan untuk bermain, meski
sekadar melayarkan perahu kertas bertinta khawatir. Kini gadis itu merasa
kerdil di hadapan Tuhan, pada parit-parit yang terbentuk di sisi kanan dan kiri
telah mengalir doa yang terkandung di rahim puisi. Ia sedang berdialog dengan
Tuhan—tentang apa dan bagaimana, tentang iya atau tidak. Aku tidak tega melihat
wajah gadis ini lebih lama lagi, ada yang tertahan di matanya.
Mungkin memang benar kata orang,
kalau kita tidak akan tahu seberapa dalam lautan tanpa menyelaminya lebih dulu,
jangan hanya memandang sebatas permukaan, terkadang air yang diam itu menyimpan
arus yang sangat deras di dalamnya. Dan aku melihat gadis melankolis ini sedang
memperlihatkan seberapa dalam lautan yang ia punya. Aku mendengar setiap kata
yang diucapkan hatinya. Bukan sebuah hal yang ringan, ini seperti masalah yang
amat rumit. Untung coffe shopnya lagi ramai, jadi tidak ada yang memerhatikan
gadis ini, semesta memang baik.
Air
mata mulai diseka, meski hatinya belum merasa lega. Kopinya mulai direguk lagi,
sudah dingin memang, karena sudah beberapa jam berinteraksi dengan udara.
Untung pemilik coffe shop baik hati tidak mengusir gadis ini, bayangkan saja,
ia duduk di meja itu sudah beberapa jam dan hanya memesan secangkir kopi yang
belum juga habis. Kalau aku jadi pemiliknya mungkin aku sudah mengusirnya dari
tadi.
Tangannya
mulai mengambil salah satu tumpukan buku itu, ternyata ia memilih novel, sudah
kuduga memang, mana mungkin gadis ini memilih buku yang isinya membuat
kepalanya semakin meronta-meronta. Gadis melankolis itu sepertinya memang
kebanyakan mikir hingga menumpuk dan ia sendiri yang ribet, terlalu peduli
tanpa pernah dipedulikan. Aku tidak habis pikir dengan gadis ini, kenapa ia
hanya membolak-balik halamnnya saja, dan lihat saja tatapannya, entah ke arah
mana, atau bahkan sudah berjalan-jalan ke kota seberang. Parah memang, gadis
ini harus segera mendapat pertolongan.
Halaman
buku yang tadi dibaca sudah tidak lagi dibolak-balik, sekarang ia
menenggelamkan kepalanya di atas buku yang tadi hanya dibukanya tanpa dibaca,
padahal buku tadi sudah senang karena akan dibaca, ternyata senasib dengan kopi
yang sekarang mulai dingin. Gadis itu seperti sedang mengawang-ngawang, kalau
boleh aku membaca raut wajahnya, nampaknya aku tahu yang ada di pikirannya.
Hanya satu yang sedang ia cari, yaitu solusi. Masalah yang menyangkut keluarga
memang berat, apalagi ditambah masalah skripsi dan masalah kecil lainnya. Aih,
aku tidak tega melihat raut wajahnya, begitu kalut.
Sebentar,
ada yang memerhatikan gadis ini dari meja sebelah. Dari tatap matanya, seperti
menyimpan simpati pada gadis melankois ini. Lihat saja, apakah orang ini
mempunyai cukup nyali untuk mendekati gadis yang ada di depanku ini. Gadis melankolis
itu masih mnenggelamkan kepalanya, pandangannya masih kosong mengarah ke
seberang jalan. Bisa jadi ia kehilangan kesadaran kalau di depannya telah duduk
seseorang yang besiap menjadi tempat kesahnya berbagi.
Firasatku
memang benar, tidak selang lama orang itu sudah duduk di depan gadis melankolis
itu. Ia seorang pria berkacamata, dari raut wajahnya aku pikir Ia orang
baik-baik, tidak ada tanda-tanda orang ini berniat iseng, bahkan Ia seperti iba
melihat gadis yang sedari tadi sendiri dan kalut sekali. Hampir tiga menit pria
itu duduk dan diam di kursi itu, memerhatikan dengan saksama tingkah gadis yang
sekarang ada di depannya. Sepertinya ingin menyapa, tapi Ia sungkan, Ia memilih
menunggu gadis itu mengangkat kepalanya.
Kaget,
gadis itu langsung salah tingkah ketika mendongakkan kepala. Mungkin dalam
batinnya bertanya, siapa pria berkacamata yang ada di hadapannya ini. Sebab Ia
merasa tidak mengenalinya, tapi kenapa berani-beraninya duduk di kursi yang
mejanya sama dengannya tanpa ijin terlebih dahulu. Pria itu hanya tersenyum
melihat reaksi gadis itu yang tampaak kaget. Mereka saling bersitatap beberapa
saat, sebelum pria berkacamata itu memperkenalkan diri.
Sekarang
mereka saling berjabat tangan, saling memperkenalkan nama dengan canggung. Terutama
gadis melankolis itu, sikapnya tampak sekali kaku. Sepertinya luka yang ia
alami begitu dalam, hatinya enggan untuk terbuka, curuk-curuk luka yang masih
menganga masih terlalu sakit untuk sebuah penerimaan. Aku tidak tahu bagiamana
gadiss ini sebelumnya, tapi semenjak beberapa jam ia duduk di kursi paling
sudut coffe shop ini aku mafhum, gadis ini sedang berusaha menyembuhkan hati,
ia terjatuh keras sekali. Mungkin pria ini bisa membantunya.
Pria
itu terlihat bingung harus memulai percakapan darimana setelah memperkenalkan
diri, Dengan gugup pria itu membuka obrolan dengan gadis melankolis yang sedari
tadi diam, kopinya pun hampir habis. Sepertinya ia tidak berniat memesannya
kembali. Mata mereka beradu pandang, satu dua pertanyaan ditanggapai gadis itu
dengan baik, tampaknya Ia hanya membutuhkan seorang teman untuk berbicara, aku
melihat raut wajanya yang tadi air kini bisa menjadi baik-baik saja seperti
yang lain. Obrolan yang semakin nyambung dan menyenangkan memebuat tawa lepas
dari bibir gadis itu. Semesta memang baik, Ia menghadirkan orang yang gadis ini
butuhkan.
Aku
memerhatikan mereka dengan saksama, ada aroma bahagia yang mulai tercium. Aku
senang melihat gadis melankolis itu akhirnya bisa tersenyum. Caffe shop semakin
ramai oleh pengunjung, maklum ini memasuki jam istirahat. Gadis melankolis dan
pria berkacamata itu juga semakin asyik menikmati obrolan mereka. Tidak ada
lagi canggung yang tadi hadir. Sekarang mereka sedang berkongsi cerita tentang
buku favorit masing-masing. Kebetulan sekali pria berkacamata itu juga memiliki
ketertarikan yang sama dengan dunia gadis melankolis itu.
Aku bukan peramal, tapi aku tahu
jika gadis melankolis itu sedang mencari teman yang sefrekuensi denga dirinya.
Yang aku lihat, gadis itu susah untuk ditebak dan dipahami. Pria ini mungkin
cocok untuknya. Andai aku bisa memotret kebersamaan mereka siang ini. Mungkin
sebelum mereka berpisah nanti aka nada kenangan yang tidak terlupa di coffe
shop ini.
Tadi aku sempat mendnegar gadis itu
bertanya kepada semesta, apakah masih ada bahagia untuknya? Mungkin hidup ini
memang tidak melulu tentang siapa, tapi bukankah seseorang juga berhak bahagia
dengan orang yang menyayanginya, tentu saja itu di luar keluarga. Buknah suatau
saat nanti Tuhan juga akan menghadirkan seseorang yang akan membuat kita
menjadi orang yang sangat istimewa? Usianya saat ini mungkin menginginkan hal
sama dengan perempuan seusianya pada
umumnya. Masalah yang Ia tanggung sudah cukup rumit, seseorang yang hadir mungkin
dapat menjadi penetral rumit yang menyelimuti pikirannya.
Mereka berdua sejenak diam, dan
saling bersitatap dengan senyum terkulum di bibir mereka. Lalu sesaat kemudian
saling tertawa. Entah apa yang mereka obrolkan, aku tidak erani menguping
percakapan mereka. Meskipun aku sekarang sangat dekat dan ada di antara mereka,
tapi aku memilih menutup telinga, bukankah tidak baik menguping pembicaraan
seseorang? Aku biarkan saja tangan takdir yang akan menyembuhkan hati gadis
ini.
Tidak terasa sudah setengah hari
kurang sedikit. Sudah banyak jam yang gadis ini habiskan hanya dengan duduk di
coffe shop ini. Pria berkacamata yang ada di depan gadis ini juga sepertinya
sudah ingin berpamit, karena dari tadi Ia sudah melihati ponselnya. Pria
berkacamata itu taampak berat ingin berpamit pergi, mungkin obrolan mereka ada
yang belum usai, tapi apalah daya, waktu sudah memberi kode untuk segera pergi.
Gadis melankolis itu hanya tersenyum melihat pria berkacamata melihati
ponselnya, ia mafhum kalau pria ini akan segera pergi.
Bukankah pertemuan dan perpisahan
tidak dapat dipisahkan? Mereka seiring sejalan dengan jalan cerita Tuhan. Jika
hari ini kalian dipertemukan, mungkin di lain hari Tuhan mempunyai rencana lagi
untuk kisah kalian. Tidak selang lama, pria berkacamata itu berpamit ingin
pergi, sungguh kata pergi itu sangat menyakitkan untuk didengar. Aku melihat
pria itu sedikit bimbang untuk meninggalkan gadis melankolis itu sendirian
lagi.
Kupikir mereka akan bertukar nomor
whatsaap agar bisa saling bertukar kabar, tetapi tampaknya tidak demikian. Tidak
ada tanda-tanda pria itu akan meminta nomor whatsaap pada gadis itu. Tapi
tunggu dulu, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Pria itu mengeluarkan sebuah
kertas ternyata. Dengan senyum termanis, pria itu memberikan selembar kertas
kepada gadis melankolis yang masih duduk di tempatnya dan belum beranjak sama
sekali.
Gadis itu mengernyit, mungkin ia
bertanya apa isi kertas itu. Sebab pria berkacamata itu berpesan dengan lirih
di telinganya jika kertas itu tidak boleh dibuka sebelum Ia keluar dari coffe
shop ini. Gadis itu deg-degan menerka-nera apa isi kertas itu. Apakah akan
berakhir sama dengan sinetron di tv? Entahlah, gadis ini juga masih belum
membukanya. Ia melihat pria berkacamat yang berjalan keluar dan hilang di
pertigaan. Ia mulai membolak-balik kertas itu.
Sekali lagi gadis itu mengernyitkan
dahi setelah membuka kertas yang diberikan pria tadi. Wajahnya yang tadi
bahagia kini tidak lagi tampak. Wajahnya kini bercampur kesal, sebenarnya apa
yang ditulis pria tadi di kertas itu? Aku menjadi bingung melihat gadis itu.
Gadis melankolis itu membereskan bukunya dengan menggerutu. Lalu gadis itu
berdiri dan sepertinya Ia ingin keluar dari coffe shop ini. Masih dengan wajah
kesal dan rasa tidak terima. Kertas itu pun ditinggalnya di atas maja, dan Ia
bergegas menuju kasir untuk mebayar pesanannya tadi.
Langkahnya terlihat tidak baik-baik
saja. Laangkah yang tadi sedikit gontai dan tidak ada selera untuk hidup, kini
lihatlah langkahnya begitu mantap dan tidak lagi gontai. Aku semakin penasarn
dengan isi kertas itu. Gadis itu pun sudah hilang dan berlalu. Aku tidak bisa
melihat tulisannya, masih terlipat jadi dua. Sesaat kemudian angin berembus
pelan dan membukakan isi kertas itu, sekarang aku bisa melihat tulisannya
dengan jelas. Pantas saja gadis itu marah dan kesal, pria berkacamata yang
keterlaluan.
“Setengah hari kurang sedikit, aku
pamit. Terima kasih untuk obrolan basa-basinya siang ini. aku sudah menjadi
teman ngobrolmu kan? Tolong bayarkan pesananku di meja sebelah ya.”
Kupikir cerita mereka akan berakhir
seperti Qais dan Laila, ternyata hanya sebatas basa-basi semata. Entahlah, aku
semakin bingung. Aku hanya tissue yang masih polos dan sedari tadi membantu
gadis itu menghapus air matanya.