Foto: Istimewa |
Identitas Buku
Judul
buku : Hidup itu Harus Pintar Ngegas
dan Ngerem
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Noura Books
Cetakan : 13, Juli 2020
Tebal : 230 halaman
ISBN : 978-602-385-150-8
Layaknya
kendaraan bermotor, hidup juga butuh ngegas dan ngerem. “Jangan memasuki suatu
sistem atau suatu keadaan yang membuatmu melampiaskan diri. Tapi,
dekat-dekatlah dengan sesama sahabat yang membuatmu mengendalikan diri. Karena
Islam itu mengendalikan, sementara internet itu melampiaskan. Hidup itu harus
pintar ngegas dan ngerem”. (hal 82)
Harmonisasi
harus dilakukan antara ngegas dan ngerem. Ngegas artinya
hidup yang terobsesi terhadap suatu hal merupakan hal tidak baik, alasannya,
tidak dapat dinilai mana benar atau salah.. Ngerem dalam arti menahan
nafsu yang mengganggu tubuh, sehingga dalam hidup itu kita harus pintar dalam
mengharmonisasikan antara ngegas dan ngerem.
Emha
Ainun Nadjib atau lebih dikenal dengan sebutan Cak Nun yang aktif dalam dunia
syair telah banyak menuangkan gagasannya melalui tulisan. Ia dikenal sebagai
penjaga Telaga Al Kautsar oleh Candra Malik, bagai telaga yang senantiasa
membasuhi badan ruhani dan melepas dahaga batin. Ia berusaha memperbaiki
pribumi Indonesia tanpa harus memimpin. Hampir seluruh Indonesia dikelilingnya
bersama dengan grup musik Kiai Kanjeng. Memberikan pengajian, seminar, diskusi,
atau workshop di bidang pengembangan sosial, keagamaan, kesenian, dan
sebagainya telah digelutinya sejak dahulu.
Memberi
adalah hal yang selalu ia lakukan, tak pandang dari kalangan mana si penerima
berada, seperti halnya buku “Hidup itu
Harus Pintar Ngegas dan Ngerem” adalah persembahan dari Cak Nun untuk
pembaca. Buku ini adalah keseharian Cak Nun, memberi wejangan kepada siapa saja yang membaca dan menghayati. Berbeda
dalam karangan Cak Nun yang berjudul “BH”,
dalam buku itu berisi kumpulan cerpen yang sudah termuat sejak 1977-1982
dikompas. Salah satu judul “Ambang” yang menceritakan tentang kisah LGBT antara
dua laki-laki yang saling mencintai. Cak Nun memberikan gambaran melalui
tulisan “Marilah kita bercinta pada tempatnya. Kau mencintai itu dan bersedia
menerima apa yang mampu kuberikan, sementara aku pun mencintai penderitaanmu.”
Melalui
dua buku tersebut, Emha Ainun Nadjib selalu memberikan dimensi religi yang
dikemasnya dalam kesenian yang setiap pembaca dituntut untuk berpikir perihal
apa yang dibaca dan bagaimana kedaan yang sedang terjadi. Dalam karyanya beliau
selalu menuangkan dialog-dialog yang
menggelitik dalam memahami agama, sehingga bagi setiap pembaca akan
terhibur dan tidak membosankan. Dari hal itu, setiap pembaca akan merasa bahwa
belajar agama tidak melulu membahas syari’at dan setiap orang bisa memahami islam
sebagai agama yang menyenangkan.
Buku
“Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan
Ngerem” Cak Nun memberikan penjelasan perihal kabar langit dengan bahasa
bumi. Kabar langit adalah tentang islam yang harus mentauhidkan Tuhan dan
bahasa bumi sebagai cara translite
manusia tentang Tuhan agar mudah untuk dipahami. Dengan membaca buku ini,
pembaca akan merasa bahwa mengenal Tuhan itu menyenangkan, tidak serumit apa
yang dikatakan orang-orang. Tuhan adalah maha pengampun, memberi ruang untuk
siapa saja yang ingin bertamu. Memberi taubat bagi siapa yang ingin mencari
hidayah, dan memberi nikmat tanpa melihat objek.
Hidup
adalah memberi bukan diberi, bagaimana tubuh kita bisa berkontribusi untuk
Islam. Cak Nun memberi permisalan dengan puasa dan makan. Puasa adalah memberi
dan makan adalah diberi, jika kita tahu nikmat puasa yang luar biasa maka lapar
tak akan menjadi malasah. Justru lapar adalah bagian dari memperkuat diri,
tetapi jika kelaparan adalah bagian dari penyebab kematian.
Cak
Nun juga memberikan pemahaman dalam buku ini, yaitu apa yang kita miliki adalah
yang kita berikan. Semua yang kita miliki dan hanya untuk disimpan, maka pada
akhirnya akan saling meninggalkan.
Sedangkan yang kita berikan akan abadi dan menjadi milik kita sampai akhirat.
Melalui hal itu, Cak Nun ingin menjelaskan bahwa islam adalah agama yang Rahmatan lil A’lamin yaitu memberi
rahmat kepada seluruh alam tidak hanya umat.
Mengenal
Tuhan dengan cara yang menyenangkan akan menambah rasa kenikmatan, Islam tidak
selalu tentang Arab tetapi universalisme islam juga berlaku pada budaya dimana
umatnya bertempat. Mengaji dengan lagu Jawa juga boleh dilakukan dan sepertinya
Tuhan menyukai jika orang Jawa mengaji dengan lagu Jawa. Ibadah bukan dinilai
dari seberapa banyak dan semerdu apa suaranya, tetapi yang dinilai adalah
seberapa ikhlas dan bagaimana kesungguhan hati kita dalam mengaji.
Bukan
hanya terfokus pada agama, Cak Nun juga memberikan sebuah pemahaman kepada
setiap pembaca tentang pendidikan kenegaraan, bagaimana kita harus mengamati,
menilai, dan menjalankan Indonesia. Indonesia adalah negeri yang kaya akan
alamnya tapi miskin pada manusianya, bukan perihal jumlah penduduknya tetapi
perihal kemampuan penduduknya yang jauh tertinggal dari negara-negara lainnya.
Bagaimana kita harus bersikap terhadap setiap badai yang selalu menggoncang
negara Indonesia. Dan bagaimana kita harus tetap bertahan ditengah morat marit
Negeri ini.
Melalui
buku ini, Cak Nun mengajak pembaca untuk membudidayakan mikir urip bukan hanya numpang urip yang tidak pernah berpikir perihal
kehidupan. Ia mengajak pembaca untuk bangkit dari sikap stagnan menuju ke arah
pergerakan, bahwa sekarang bukan waktunya untuk duduk santai tetapi kita harus
menjadi manusia yang mau berpikir perihal sekarang dan masa yang akan datang.
Buku
ini adalah buku kesekian dari Emha Ainun Nadjib. Dan buku ini cocok dibaca bagi
semua kalangan, penulis mampu memberikan nasihat-nasihat kearifan yang terkemas
dengan sangat apik dan menarik. Sehingga bagi siapa saja yang membaca, ia tidak
hanya memperoleh ketenangan batin tetapi juga pemikiran dan gagasan baru
mengenai kehidupan sekarang ini. Sayangnya dalam buku tersebut terdapat
istilah-istilah yang masih kurang dimengerti oleh orang awan, dan untuk
mengerti apa yang disampaikan oleh Cak Nun pembaca harus membaca berulang kali.
Diresensi oleh Dwi
Qotrun Nada,
Mahasiswi Fakultas
Dakwah dan Komunikasi Islam IAIN
Kudus