Gapura bertuliskan "Sentra Industri Kerajinan Monel Kriyan - Jepara" sebagai pintu masuk ke desa Kriyan (Foto: Dhea/Paradigma) |
Oleh: Dhea Oktaviana*
JEPARA, parist.id – Kesohoran desa Kriyan sebagai pusat industri kerajinan monel sudah tidak diragukan lagi. bagaimana tidak, ketika kita melewati askses jalan memasuki desa ini, kita akan disambut oleh gapura yang bertuliskan “Sentra Industri Kerajinan Monel Kriyan-Jepara”. Toko-toko aksesoris yang berjajaran di samping kanan dan kiri semakin menguatkan eksistensi logam putih ini sebagai sebagai ikon desa tersebut.
Desa Kriyan memang sejak dulu dikenal sebagai daerah penghasil berbagai kerajinan berbahan monel. Tak hanya aksesoris seperti kalung, gelang, liontin, anting, dan cincin, desa yang terletak di kecamatan Kalinyamatan kabupaten Jepara ini juga memproduksi alat-alat seperti korek kuping, penggaruk punggung, pinset, pencabut jenggot, alat penggaruk lidah, dan alat kerokan untuk masuk angin. Tidak terbatas pada bahan monel, toko-toko di desa ini juga menjual aksesoris menarik berbahan kuningan.
Sejarah itu bermula sejak tahun 1947. Pada tahun itu, Kriyan diresmikan sebagai Desa Sentra Industri Kerajinan Monel. Tentunya semua itu tidak terlepas dari pasang surut seni kerajinan ini sehingga mampu bertahan sampai sekarang.
Pagi itu, pada hari Selasa (8/6/21), kami menemui Farichah (67), pemilik toko monel tertua di Kriyan di kediamannya. Rumah dan sekaligus tokonya sangat mudah dikenali, di depan etalase yang penuh aksesoris monel ini terpampang tulisan besar yang ia namai “Seni Sakti Monel”.
Di ruang tamu kami dipersilahkan duduk. Dengan senang hati, Farichah mulai menceritakan bagaimana awal mula perjalanan industri kerajinan monel di Kriyan. Sambil duduk santai ia menjelaskan, ternyata monel bukan bahan pertama yang digunakan untuk membuat kerajinan di Kriyan, melainkan alpaka.
“Mulai tahun 60an ada kerajinan cincin, bukan berbahan monel tapi Alpaka. Lalu ada bahan lain, yaitu dari uang dipa. Mata uang yang sudah tidak berlaku pada masa itu, lalu para pengrajin membuatnya menjadi cincin. Di situlah awal mulanya,” terang Farichah mulai menjelaskan
Barulah pada tahun 1965 dikenal seni kerajinan dari monel. Farichah mengisahkan, pada masa itu ada pengrajin monel pertama di Kriyan, ia adalah Alm. Hardi. Dalam perjalanannya, Hardi memegang peranan penting terhadap kemajuan monel di Kriyan. Ia merekrut banyak warga Kriyan yang kemudian dipekerjakan untuk membuat berbagai aksesoris berbahan monel di Semarang.
“Dari sinilah, kemampuan warga Kriyan untuk memproduksi monel mulai terasah,” sambung wanita paruh baya itu.
Industri kerajinan monel tak serta merta berkembang mulus begitu saja, dulu keberadaan monel di Kriyan hanya sebatas home industry (industri rumahan). Kemudian, Farichah melanjutkan, perhiasan-perhiasan berbahan monel dan alpaka yang laku dan banyak dicari konsumen membuat kerajinan ini semakin berkembang dan diproduksi di desa sekitar.
“Untuk pengrajin monel sampai saat ini sudah tersebar di Kriyan, Robayan, Bakalan, dan Margoyoso. Sekarang, proses pemasaran di toko saya juga sudah sampai Medan, Kalimantan, Makassar, Malang, dan Yogyakarta,” ucapnya memberi isyarat lewat jari seolah menunjuk letak daerah yang tadi ia sebutkan.
Sentra Kerajinan Monel Kriyan mulai dikenal masyarakat luas ketika digelar Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) pada tahun 1988 di Jepara. Pada masa itu, Pemerintah Daerah membuat papan nama pada gapura masuk Desa Kriyan yang bertuliskan “Sentra Industri Kerajinan Monel Kriyan-Jepara”.
“Setelah dibangun itu, banyak warga dari luar yang berdatangan mencari aksesoris-aksesoris monel, padahal keadaannya saat itu belum ada penjual monel di Kriyan,” ucapnya sambil sesekali membenarkan posisi duduknya yang kurang nyaman.
Toko kerajinan monel milik Farichah yang berdiri sejak tahun 1989 (Foto: Dhea/Paradigma) |
Bermula Industri Rumahan
Melihat ramainya peminat aksesoris monel pada masa itu, toko monel tertua di Kriyan, yakni Seni Sakti Monel, mulai beroperasi. Tepatnya pada tahun 1989, Farichah bersama sang ayah mulai berjualan monel kecil-kecilan di rumah. Saat itu tokonya baru menyediakan cincin, kalung, liontin, dan anting.
Terik matahari di luar, ditambah suasana keakraban di antara kami, membuat perbincangan semakin hangat. Farichah, menjelaskan masa-masa kejayaan Sentra Kerajinan Monel di Kriyan adalah pada tahun 2014-2015, dimana dikenal sebagai masa booming-nya batu akik. Di tahun-tahun ini, seni kerajinan monel benar-benar menjadi mayoritas mata pencaharian masyarakat Kriyan.
“Tahun 2014/2015 itu benar-benar ramai sekali di sini, banyak sekali yang mencari cincin batu akik. Warga juga banyak yang tiba-tiba membuka toko di rumah, kebanyakan memang berjualan cincin itu,” ujarnya sambil menunjukkan koleksi batu akik yang diambilkan oleh anak buah di tokonya.
Sempat Meredup
Namun, trend hanyalah sementara, tahun 2016 trend batu akik mulai meredup. Menurunnya permintaan pasar membuat para pengrajin tak lagi memproduksi perhiasan monel, khususnya cincin. Farichah, juga mengakui bahwa hingga sekarang kerajinan monel juga tengah mengalami kemerosotan.
“Sekarang sudah jarang ditemui pengrajin monel, bahkan saya juga kesulitan mencari pengrajin yang mampu menggarap sesuai permintaan. Ditambah masa pandemi juga, yang membuat proses pemasaran semakin sulit,” jelasnya di tengah keramaian kala kedua cucunya sedang asik bermain di toko.
Mengatasi hal tersebut, Farichah mulai bangkit, kini pemasaran monel telah memasuki pasar digital. Berkat bantuan anaknya, ia mulai memasarkan berbagai kerajinan monel produksinya di berbagai marketplace pada aplikasi jual beli online.
Senada dengan Farichah, salah satu warga Desa Kriyan, Munasihah (60), juga menuturkan hal yang sama. Masa pandemi juga maraknya pabrik di Jepara membuat seni kerajinan monel Kriyan juga mengalami kemerosotan.
“Sebelum pandemi disini ramai yang membeli monel, biasanya mereka orang jauh-jauh dari luar kota. Kalau sekarang sudah sepi, jauh kalo dibandingkan dulu. Apalagi sekarang ada pabrik, banyak yang lebih memili kerja di pabrik dari pada memproduksi monel,” ucapnya saat ditemui di halaman rumahnya.
Dengan ramah, ia juga menceritakan, beberapa anak muda sekarang sudah jarang yang meneruskan pekerjaan orang tuanya dulu sebagai pengrajin monel.
“Kalau untuk mereka yang orang tuanya dulu pengrajin monel sedikit-sedikit pasti tahu cara membuatnya, tapi untuk yang keluarganya belum pernah bekerja di monelan ya tentu kurang paham. Banyak yang meneruskan pekerjaan orang tuanya untuk berjualan monel, tapi kebanyakan hanya mengambil barang dari orang lain, bukan membuat sendiri,” lanjut perempuan yang kerap disapa Muna itu.
Terakhir, sebelum berpamitan, Muna menyampaikan harapan-harapan baiknya untuk kemajuan monel di Kriyan agar kembali ramai seperti dulu.
“Harapannya tentunya agar kerajinan monel ini segera berjalan kembali, pandemi segera selesai, dan semakin banyak peminat pastinya,” pungkasnya.
*) Penulis adalah Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Semester Empat