Ilustrasi : Vivi/Paragraph |
Dalam etika jurnalistik, jurnalis dituntut untuk profesional dalam menjalankan tugasnya. Menyajikan berita dengan informasi yang berimbang, netral dan tidak memihak. Ketika hal tersebut tidak sanggup ditaati oleh jurnalis, apakah kode etik jurnalistik hanya dianggap sebatas wacana?
Seorang jurnalis dituntut untuk terus meningkatkan kualitasnya dalam menghasilkan tulisan, entah ketika membuat berita, esai, opini, ataupun yang lain. Bekerja sebagai jurnalis, harus mematuhi sejumlah kode etik, Undang-Undang Pers dan ITE. Hal ini bertujuan agar jurnalis tersebut dapat bertanggung jawab dalam pekerjaannya, termasuk dalam menyajikan sebuah berita yang terpercaya. Kode etik jurnalistik ini menjadi etika yang wajib ditaati oleh wartawan atau jurnalis.
Dalam meliput dan menyampaikan berita, jurnalis di Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman. Sejumlah pedoman yang dimaksud ditujukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat juga menegakkan kredibilitas dan profesionalisme seorang jurnalis. Etika jurnalistik semacam ini menjadi norma atau aturan oleh para jurnalis, termasuk reporter, redaktur, layouter agar dalam menjalankan tugasnya berjalan sesuai dengan fungsi sosialnya.
Kendati demikian, dalam beberapa kondisi terkadang jurnalis cenderung lebih mengulas berita yang lebih bersifat sensasional. Seperti berita panas selebriti misalnya. Masyarakat menganggap bahwa berita sensasional tersebut tidak penting. Jikapun meliput berita seputar selebriti, masyarakat mengharapkan berita yang berkualitas dan tidak dibuat-buat dengan ditampilkannya sejumlah prestasi, penghargaan, serta bakat para selebriti. Hal itu tentunya patut diberitakan karena cenderung membawa arah yang positif bagi pembaca.
Masyarakat di Indonesia lebih menyukai berita yang sedang hangat dan nyata. Seperti berita seputar pemerintahan, kabar Indonesia, atau berita yang berdasarkan hobi. Seperti liputan kuliner, pariwisata, olahraga, dan sebagainya. Jurnalis dituntut untuk menyajikan berita yang hangat, akurat, terpercaya, dan terkini. Apalagi di era digital 4.0, hadirnya internet tentu menjadi platform unggul untuk memaksimalkan media sosial dengan konten yang menarik. Kreativitas para jurnalis perlu diciptakan serta dikembangkan agar penyebaran informasi dapat berkembang dan mudah dijangkau berbagai kalangan.
Melirik kasus yang terjadi pada Aktris Lucinta Luna yang sempat ramai diperbincangkan warganet tahun lalu terkait kasus penyalahgunaan narkoba (11/2/2020), banyak jurnalis yang meliput berita tentang aktris tersebut. Namun bukannya fokus pada kasusnya yang menyalahgunakan narkoba, kebanyakan jurnalis lebih fokus pada sisi isu transgender dan sensasional. Berdasarkan fakta, bahwa hukum di Indonesia tidak mengakui transgender. Media terus meliput berita penuh sensasional untuk disuguhkan kepada masyarakat demi mendapat perhatian. Pemberitaan Lucinta Luna dipenuhi prasangka mengenai kelompok transgender. Alih-alih fokus pada permasalahan hukum, mereka (jurnalis) lebih mendalami berita sensasional. Lebih parah lagi, media membongkar identitas kekasih Lucinta Luna, yang seharusnya hal tersebut merupakan hak privasi. Tidak seharusnya media memaksa seseorang mengungkapkan identitas seksualnya. Jelas hal ini melanggar kode etik jurnalistik pada pasal 2 “menghormati hak privasi”, pasal 7 “tidak menulis berita berdasarkan prasangka”, dan pasal 8 “menghormati kehidupan pribadi”.
Dalam etika jurnalistik, jurnalis dituntut untuk profesional dalam menjalankan tugasnya. Menyajikan berita dengan informasi yang berimbang dan bersifat netral (tidak memihak). Apakah pernyataan mengenai kode etik jurnalistik hanya sebatas wacana? Untuk menghindari kesalahan serta pelanggaran dalam etika jurnalistik, seharusnya dalam diri jurnalis tertanam kesadaran. Maka, sudah sepatutnya ada tindakan tegas bagi jurnalis yang melanggar kode etik tersebut. Seperti kasus pada 2017 lalu, Hilman Mattauch yang berprofesi sebagai jurnalis metro TV diisukan terlibat dalam penyembunyian Setya Novanto saat hendak dijemput oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada kasus korupsi Kartu Penduduk elektronik (e-KTP). Pihak Metro TV menyatakan akan memberikan sanksi tegas jika Hilman benar terbukti melanggar kode etik tersebut. Seharusnya pimpinan media dapat memberikan edukasi kepada jurnalis untuk tidak menyalahgunakan profesi serta tidak memihak.
Dalam pernyataan di atas dapat dilihat dalam kode etik jurnalistik pada pasal 6, bahwa “Jurnalis Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Seharusnya dengan kode etik tersebut, jurnalis dapat menyajikan berita yang tidak beritikad buruk. Begitu besar pengaruh jurnalis dan pers dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Penulis berharap, kedepannya Persatuan Wartawan/Jurnalis Indonesia (PWI) semakin menghasilkan para jurnalis yang idealis dan inovatif dalam meningkatkan kualitas penyajian berita yang terkini, akurat, serta terpercaya. Jurnalis tidak hanya berperan dalam menyampaikan berita, melainkan juga sebagai penghibur dengan menyajikan karya-karya berupa karikatur, cerita pendek inspiratif, atau sekedar quotes yang mempunyai sisi human interest. Karya tersebut mampu membuat pembaca terhibur setelah lelah dalam aktivitas harian.
*) Atmimlana Nurrona, Redaktur Pelaksana di LPM Paradigma IAIN Kudus