Ilustrasi: Vivi/paragraph |
KAMPUS, parist.id – Kepuasan mahasiswa menjadi salah satu indikator keberhasilan kampus dalam memberikan fasilitas dan layanan sebagai lembaga pendidikan. Sistem perkuliahan, menjadi faktor penting yang dapat mengukur tingkat kepuasan mahasiswa.
Dalam dua semester ini, IAIN Kudus telah melaksanakan sistem perkuliahan secara daring (online). Meskipun sudah banyak dosen yang dapat menyesuaikan sistem pembelajaran daring dengan baik, namun tak sedikit mahasiswa yang mengeluh karena merasa perkuliahan yang tidak efektif.
Hal ini yang dirasakan oleh mahasiswa Hukum Keluarga Islam semester lima, Anas Anshori. Ia mengatakan, salah satu dosennya hanya mengampu satu kali selama satu semester via aplikasi Zoom.
“Awal pertemuan hanya memberikan Rencana Program Studi (RPS), habis itu kita hanya presentasi mandiri tanpa feedback dari dosen,” kata Anas saat diwawancarai via WhatsApp, Senin (02/08).
Hal senada juga dirasakan oleh salah satu mahasiswa prodi Komunikasi Penyiaran Islam. Mahasiswa yang tidak mau disebutkan namanya itu mengaku mendapati satu dosen yang tidak serius dalam mengajar. Meskipun begitu, ia tidak berani melapor karena takut mendapat nilai jelek dari makul yang diampu dosen tersebut.
"Jika kami melapor, takutnya nanti malah dapat nilai E," akunya kepada reporter parist.id, Senin, (09/08).
Menanggapi hal ini, Wakil Rektor I IAIN Kudus, Supa’at menyampaikan bahwa mahasiswa tidak perlu takut untuk melaporkan dosen yang bermasalah. Dengan catatan, laporan yang dikeluhkan harus disertai bukti yang jelas.
"Sebutkan nama dosennya, lalu tulis pernyataan di kertas serta tanda tangan pengadu dan serahkan kepada saya, soal identitas akan saya rahasiakan," jelasnya saat ditemui di Gedung Rektorat lantai 2, Senin. (09/08).
Penulisan pernyataan tersebut, dimaksudkan untuk menghindari fitnah. Selain itu, bukti itu juga sebagai dasar hukum untuk memberi sanksi kepada para dosen yang tidak bisa mengemban tanggungjawab dengan baik.
“Dengan begitu, saya memiliki sebuah bukti dan tidak terjadi yang namanya fitnah,” tandasnya.
Supaat menegaskan, pembelajaran daring tidak boleh hanya berlangsung via chat di grup WhatsApp atau hanya mengirim materi pdf saja tanpa penjelasan yang lebih mendalam dari dosen.
“Minimal harus ada video penjelasannya baru setelah itu boleh di sambung dengan via WhatsApp untuk diskusi,” terangnya. (Nad)