Perkuliahan tatap muka mahasiswa prodi Hukum Keluarga Islam IAIN Kudus, Selasa (31/08)
foto: Annas/Paradigma
Kabar mulai diperbolehkannya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) disambut baik oleh seluruh kalangan masyarakat. Kabar gembira ini menjadi penanda masih adanya masa depan di tengah segala keterbatasan.
Seperti yang diketahui, pembelajaran tatap muka sudah mulai diperbolehkan sejak Senin (30/08) ini. Beberapa sekolah yang pada minggu-minggu sebelumnya telah melakukan simulasi atau percobaan sudah berani menjalankan pembelajaran secara penuh. Sementara untuk sekolah yang baru memulai, dapat menerapkan ujicoba PTM tentunya dengan pembatasan jam belajar dan protokol kesehatan yang ketat.
Kendati hanya diperbolehkan masuk kelas dua sampai tiga dalam seminggu, ini menjadi menjadi pemicu semangat anak-anak untuk belajar. Mulai dari seragam sekolah, perlengkapan, alat tulis, semuanya dipersiapkan. Tidak berlebihan, pasalnya rasa kangen untuk menjalani kehidupan normal sudah sangat lama didambakan oleh semua kalangan masyarakat, termasuk kerinduan siswa belajar di ruang kelas.
Dampak baik ini juga dirasakan oleh masyarakat sekitar. Orang tua yang harus bekerja mencukupi kebutuhan ekonomi sedikit diringankan bebannya karena anak sudah bisa belajar di sekolah. Begitupun dengan pedagang kecil yang berjualan di depan sekolah, sedikit membuka pintu rezeki mereka yang terjepit kebutuhan.
Kita semua tentu berharap, keadaan ini bisa terus bertahan, bahkan mulai membaik untuk menjalani kehidupan normal. Titik terang bagi guru yang selama pembelajaran daring merasa kesulitan. Meskipun guru sudah berusaha menyesuaikan sistem pembelajaran daring, bagaimanapun pembelajaran akan lebih efektif jika dilakukan secara langsung.
Melirik implementasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang sudah berjalan, banyak menuai argumen dan kritik dari berbagai pihak. Dari orang tua yang kesulitan mengajar anak di rumah, guru yang kesulitan mengajar karena harus mempelajari media pembelajaran daring, pembelajaran yang kurang efektif, beban tugas yang diberikan kepada anak, menjadi penyebab tujuan pembelajaran tidak tercapai secara optimal. Dampaknya, banyak pembelajaran di sekolah hanya dilakukan seadanya dan sekadar menjadi formalitas.
Hal ini pun, juga dirasakan di dunia perkuliahan. Saya melihat, banyak dari mahasiswa maupun dosen justru memanfaatkan situasi ini sebagai alasan. Perkuliahan daring, menjadi celah bagi mahasiswa untuk bekerja, mencari kegiatan lain, dan tidak mengutamakan kuliah. Begitupun dengan dosen, tidak mengajar secara serius, membiarkan mahasiswa belajar mandiri, tanpa adanya pendampingan dan evaluasi.
Saya tidak mengatakan, semua dosen dan mahasiswa berlaku demikian. Masih banyak di antara mereka yang yang dapat menyesuaikan, menyadari keadaan dan berkembang di tengah keterbatasan, menciptakan inovasi dan kebudayaan baru dalam hal pembelajaran, yang memanfaatkan teknologi dan era kemajuan.
Teknologi dan kebudayaan, tentunya tidak dapat terpisahkan. Kita tahu teknologi hanya alat untuk mempermudah pekerjaan kita. Akan tetapi, di sini, kita dapat menciptakan kebudayaan baru yang memanfaatkan perkembangan teknologi.
Ambil contoh perkuliahan daring, memanfaatkan aplikasi Zoom Meeting atau Google Meet untuk diskusi, kuliah, dan berkomunikasi dengan orang lain tanpa perlu bertemu langsung. Kebudayaan yang tumbuh sejak pandemi ini menjadi salah satu bukti, kita mampu bertahan di tengah keterbatasan.
Jumat (27/08) lalu, berdasar Surat Edaran Rektor IAIN Kudus nomor 3447/In.37/R1/08/2021, pimpinan kampus telah mengeluarkan kebijakan sistem perkuliahan blended learning. Perkuliahan yang memadukan antara perkuliahan online dan offline ini menjadi angin segar bagi mahasiswa. Bersamaan dengan ini juga, pimpinan juga mulai mengizinkan mahasiswa untuk beraktivitas di kampus. Itu artinya, kegiatan-kegiatan Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan mahasiswa sudah bisa dijalankan. Mahasiswa sudah bisa melakukan diskusi, rapat, latihan rutin, dan menjalankan program kerja dengan nyaman. Bisa dibilang, nyawa organisasi sudah hidup. Dan mahasiswa mulai bisa merasakan kehidupan kampus yang sebenarnya.
Bisa dibayangkan, jika pandemi terus berjalan, dan perkuliahan daring berlaku sampai mahasiswa lulus. Mahasiswa bahkan belum merasakan apa itu kuliah, tahu-tahu sudah lulus. Dikhawatirkan akan melahirkan generasi zero yang minim pengalaman, relasi, dan wawasan akan menjadikan beban negara. Padahal, relasi, wawasan, dan pengalaman bisa terbangun jika kita bertemu dengan orang baru. Dan kampus menjadi salah satu privilese mahasiswa untuk menggapai itu.
Perlahan, saya harap keadaan ini
semakin membaik. Semua mahasiswa bakal diijinkan berkuliah tatap muka secara
penuh, tanpa mengesampingkan protokol kesehatan dan keselamatan, menjadikan
kampus sebagai iklim akademik yang produktif, sarana belajar, dan batu loncatan
untuk mencapai masa depan. Menuju Indonesia yang produktif, oleh anak-anak muda
yang kreatif. Semoga...
Hasyim Asnawi, mahasiswa semester
akhir yang tak kunjung menyelesaikan skripsinya