Foto : Dok. Teater Satoesh |
Pada tulisan sebelumnya, saya mengutarakan pendapat yang secara tidak langsung sebenarnya hendak memantik kesadaran sekaligus kewaspadaan bahwa bila suatu komunitas teater mementaskan naskah populer, maka sadar atau tidak, akan mungkin masuk ke ‘jebakan kesamaan’.
Saya terpaksa memakai istilah di atas untuk menjelaskan bahwa kesamaan akan menjebak siapa saja, sekurang-kurangnya, untuk menuntut atau dituntut lebih dari yang sama yang lain.
Hampir semua dari kita pernah makan bakso, berkali-kali, dan pada waktunya kita akan masuk ke jebakan kesamaan atas bakso itu. Sangat mungkin di antara kita mendambakan rasa bakso yang lebih dari bakso yang lain, bisa lebih baik – baru – atau unik : benar bahwa karena makan merupakan kebutuhan jasmani yang tak terhindarkan, kita jadi tak selalu punya waktu untuk mendambakan hal demikian.
Tapi menonton pertunjukkan juga merupakan hiburan dan hiburan adalah kebutuhan jiwa maka kenyataan sebelumnya mirip dengan kenyataan bahwa tak semua penonton adalah pemerhati, bahkan tak semua pemerhati punya cara memperhatikan (dan mendambakan) yang sama.
Harap dipahami bahwa saya tidak sedang berpretensi untuk berkata bahwa mementaskan naskah populer adalah baik atau buruk. Saya tidak hendak memakai oposisi binner atau dualisme semacam itu. Saya hanya merasa perlu untuk memberi catatan kecil tentang tantangan jika naskah populer hendak dipentaskan supaya kehidupan teater kita tidak hanya berisi repetisi apalagi stagnansi.
Salah satu tantangan itu adalah kebaruan. Menurut saya, cara mementaskan naskah populer yang paling tidak menarik adalah dengan mengabaikan unsur kebaruan ini. Ada benarnya bahwa sesuatu bisa baru sekaligus kuno bagi dua penonton yang berbeda. Tapi itu cara pandang subyektivisme—yang meletakkan nilai pada subyek—padahal sepertinya, untuk perkembangan teater kita, ada baiknya kita pakai cara pandang obyektivisme: yang meletakkan nilai pada realitas atau obyek itu sendiri.
Semalam saya melihat kebaruan berusaha diwujudkan oleh Teater Satoesh, dalam naskah “Sumur Tanpa Dasar” karya Arifin C. Noer. Saya cukup bersyukur karena menyaksikan Rikza, sebagai sutradara, melakukan upaya ‘memperkaya’ naskah populer itu.
Kita menghargai usaha itu dengan tidak menampik kenyataan bahwa kebaruan yang coba diupayakan kurang berhasil setidaknya karena beberapa ukuran teknis, yaitu komposisi keaktoran yang kacau, pemanfaatan musik yang tidak maksimal, dan lampu yang tak terkendalikan. Jika hal-hal teknis semacam itu ternyata ‘belum selesai’, di mana kebaruan bisa mendapat tempat?
Komposisi keaktoran yang kacau saya saksikan di banyak adegan. Tokoh Jumena, misalnya, menurut saya, memiliki kualitas keaktoran yang lebih unggul dari yang lain. Suatu hal yang positif, seharusnya, bila dikomposisikan dengan baik. Tapi berkali-kali Jumena dipertemukan dengan aktor lain yang cenderung lemah secara vokal maupun visual.
Kalau saya bilang Jumena lebih unggul ketimbang yang lain, itu bukan berarti ia mutlak baik. Ada satu hal yang boleh kita sayangkan, ia seperti mendefinisikan tubuhnya sebagai tubuh film yang bisa dipecah dalam bingkai. Ia beberapa kali tampak lepas dari peran yang ia mainkan. Yang paling parah adalah ia tampak tertawa karena aktor lain sedang melakukan banyolan pada waktu bersamaan. Apakah ia benar tertawa atau tidak adalah urusan lain, tapi itulah yang beberapa penonton sadari, saya mendengarnya sendiri, beberapa penonton berkata “loh, kok melu guyu” atau “loh, kok ikut tertawa”.
Musik “Sumur Tanpa Dasar”, di awal, sebenarnya memberi penonton harapan. Saya pribadi curiga, selanjutnya musik akan termanfaatkan dengan baik dan bahkan memberi kesan mewah. Tapi ternyata harapan itu pupus. Hangus. Musik yang saya dengar hanya ditempel, tidak menyatu, bahkan pada beberapa bagian memberi kesan menganggu. Sangat disayangkan.
Teater Satoesh memakai 16 lampu spot dalam pementasan ini. Saya tak tahu apakah angka 16 adalah sedikit atau banyak. Tapi yang jelas tampak sekali ketakterkendalian lampu pada beberapa adegan. Lampu yang terlambat atau terlampau cepat, ketika menyala atau meredup.
Tiga poin teknis yang tak selesai itu, membuat kebaruan –jika sungguh ada— menjadi kabur. Ketika menyaksikan pertunjukkan semalam, saya hampir mendapat kesimpulan bahwa Arifin C. Noer adalah penulis naskah yang buruk karena saya merasakan alur berantakan, konflik mengambang, dan komposisi dialog yang mubazir.
Tapi ternyata saya keliru. Ketika mencoba menyaksikan pertunjukkan sembari menyimak satu per satu dialog dalam naskah asli, saya sadar, Rikza telah melakukan adaptasi yang mungkin menyalahi kode etik penggarapan naskah karena tak menyertakan keterangan adaptasi di poster publikasi. Mungkin.
Ketika sampai di sini saya sadar bahwa Teater Satoesh bukanlah perkumpulan dari orang-orang yang diformulasikan untuk kelak menjadi aktor atau sutradara, atau yang kelak hidup dari dan untuk teater. Saya baru sadar bahwa Teater Satoesh adalah teater pemberdayaan. Komentar-komentar di atas bisa tidak relevan dan bisa segera dicoret saja jika kesadaran saya yang baru ini adalah kebenaran.
Teater Satoesh sebagai teater pemberdayaan, maksud saya, adalah suatu komunitas yang memilih teater sebagai wadah untuk memberdayakan bakat dan minat seluruh anggotanya. Teater adalah pilihan yang baik, saya kira, karena konon, ia merupakan wadah yang bisa merangkum, tidak hanya semua cabang seni, tapi juga semua potensi.
Maka sebagai teater pemberdayaan, kita mudah untuk melihat keberhasilan Teater Satoesh. Kita bisa membayangkan, di balik dua setengah jam pertunjukkan berlangsung, ada suatu proses yang monumental bagi setiap yang terlibat. Manusia aktor, misanya, menjadi belajar bagaimana untuk menghubungkan ‘apa yang sembunyi’ dan ‘apa yang tampak’ dalam sekaligus dari diri. Pelajaran yang berharga.
Mungkin saja, kesenian bukan sesuatu yang bisa dihakimi. Keindahan pun selalu mudah ditemukan oleh mereka yang punya mata sebening kaca. Tapi ukuran-ukuran kadang diperlukan untuk menandai perkembangan zaman. Jika “Sumur Tanpa Dasar” dan Teater Satoesh diukur dengan ‘satuan’ pemberdayaan, sekali lagi, ia hampir mustahil tak berhasil. Pemberdayaan adalah keniscayaan dalam setiap proses, kan?
Tiyo Ardianto, Omah Dongeng Marwah. Universitas Gadjah Mada.