Foto: Hasna/Paragraph |
Oleh: Atmimlana Nurrona*)
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon telah menerbitkan majalah edisi kedua mengangkat liputan khusus terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup IAIN Ambon. Majalah edisi kedua tersebut mengangkat tema “IAIN Ambon Rawan Pelecehan” mengungkap sebanyak 32 kasus kekerasan seksual terjadi di lingkup IAIN Ambon.
Korban pelecehan seksual diantaranya terdiri dari 25 perempuan dan 7 laki-laki. Sementara jumlah pelaku kekerasan seksual berjumlah 14 orang, diantaranya 8 dosen, 3 pegawai, 2 mahasiswa, dan 1 alumnus. Tim liputan majalah telah melakukan riset sejak tahun 2017, sementara mengacu informasi yang diberikan oleh korban, pelecehan seksual sudah berlangsung sejak tahun 2015.
Terbitnya majalah edisi kedua ini berimbas pada pembekuan segala aktivitas pada LPM Lintas. Rektor IAIN Ambon, Zainal Abidin Rahwarin menghentikan segala aktivitas yang dilakukan oleh pers mahasiswa. Menurut Wakil Rektor III, M. Faqih Seknun menganggap bahwa pengurus LPM Lintas tidak dapat membuktikan kepada pihak lembaga kampus tekait 32 kasus pelecehan seksual yang terjadi di IAIN Ambon.
Senun mengatakan pihaknya akan mengganti seluruh pengurus dan anggota LPM Lintas dengan kepemimpinan yang baru. Persoalan ini menjadikan berbagai lembaga membentuk sejumlah tim advokasi mulai dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pengda Maluku, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Ambon, LBH Pers Ambon, LBH Fakultas Hukum Universitas Pattimura, dan Gerak Perempuan Maluku.
Selama ini, lembaga kampus berharap bahwa pers mahasiswa dapat berperan serta dengan tetap menjaga nama baik kampus. Tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut, akan tetapi Pers Mahasiswa bukanlah humas kampus. Pers mahasiswa memiliki nilai idealisme terhadap persoalan yang terjadi. Seperti sarana-prasarana fasilitas kampus yang belum memadai standar kelayakan. Beragam fasilitas kampus yang rusak dan tidak kunjung diperbaiki. Padahal Uang Kuliah Tunggal (UKT) setiap tahun mengalami kenaikan akan tetapi pelayanan yang didapat tidak sepadan.
Pers mahasiswa memang sepatutnya perlu mengetahui berbagai isu-isu kampus yang membutuhkan solusi. Salah satunya adalah mengenai kasus kekerasan seksual. Di saat Satuan Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual di lingkup Perguruan Tinggi berjalan cukup baik, pers mahasiswa dapat berperan untuk mengawal proses keadilan yang harus didapat korban. Lebih lagi dapat melakukan kampanye edukasi bersama dengan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) agar kejadian serupa (kekerasan seksual) tidak terjadi lagi.
Dalam hal ini, pers mahasiswa tentu memiliki kode etik yang harus dipatuhi dalam peliputan berita. Bagaimana mampu meliput persoalan kampus dengan melakukan penyelidikan mendalam sehingga mampu mendapatkan data-data yang akurat dan berimbang. Mengacu pada Kebebasan Pers sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Pers UU No. 40/1990 secara eksplisit menjamin kebebasan dan kemerdekaan pers.
Begitu juga dengan Pers Mahasiswa yang juga membutuhkan ruang gerak secara independen. Memiliki kebebasan berekspresi yang merdeka dalam hal meliput isu kampus. Terkait majalah yang mengulik dugaan kasus pelecehan seksual tersebut, begitu disayangkan atas sikap rektor IAIN Ambon membekukan LPM Lintas tanpa melalui audiensi terlebih dahulu. Memilih membekukan LPM Lintas serta mengganti seluruh pengurus dan anggotanya seakan mengekang ruang gerak mahasiswa yang memiliki nalar kritis.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 mengeluarkan Surat keputusan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, sebagai upaya hukum untuk melindungi korban dari persoalan pelecehan bahkan kekerasan seksual dalam lingkungan kampus.
Mengenai persoalan di atas, seharusnya Lembaga Kampus melakukan penyelidikan terlebih dahulu terkait dugaan kasus pelecahan seksual. Bukan malah memilih untuk secara langsung membekukan Lembaga Pers Mahasiswa. LPM Lintas tidak memberikan informasi narasumber kepada birokrat dengan alasan mengenai hak privasi, jelas ini mengacu pada kode etik Pasal 2 yakni “menghormati hak privasi” dan Pasal 5 “tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila”.
Bahwa para korban pelaku kekerasan seksual berhak mendapatkan pendampingan yang aman. Sehingga identitas korban perlu untuk dirahasiakan demi menjaga privasi korban dan pihak keluarga, terkecuali mendapat izin dari korban itu sendiri.
Selain penanganan kasus kekerasan seksual secara hukum, ada beberapa hal lain yang perlu dilakukan guna menjaga kondisi mental korban agar tetap stabil. Korban yang mengalami kekerasan seksual tentu menyimpan rasa trauma yang cukup mendalam, sehingga dibutuhkan pelayanan dan penanganan yang tepat. Demikian psikolog atau psikiater memiliki peran cukup penting dalam membantu proses pemulihan korban.
Pernyataan lain yang membuat mental korban kekerasan seksual membutuhkan proses lama dalam penyembuhan adalah mengenai hukum sosial yang berlaku di tengah masyarakat. Masyarakat seringkali mencemooh para korban kekerasan seksual dengan dalih kejadian tersebut adalah karena kelalaian korban. Terlebih lagi, bagaimana masyarakat masih memiliki pandangan persoalan gender yang belum dapat disetarakan.
Acapkali perempuan dikelompokkan sebagai kaum lemah, tidak berdaya, tidak memiliki kekuatan sehingga wajar jika terjadi hal sedemikian rupa. Padahal, korban kekerasan seksual tidak hanya dapat terjadi pada perempuan, tetapi laki-laki pun dapat menjadi korban yang sama. Namun, saat kekerasan seksual terjadi pada laki-laki hal itu sulit dipercaya oleh masyarakat.
Sebab selama ini yang menjadi standar bagi laki-laki adalah bahwa ia gagah, berani, sehingga tidak memungkinkan menjadi korban kekerasan seksual. Demikian pandangan hidup di masyarakat, sudah saatnya persepsi tersebut perlu diubah dengan sarana edukasi yang tepat dan sesuai dengan faktor lingkungan masyarakat.
*) Penulis adalah Pimpinan Redaksi LPM Paradigma tahun 2022