Foto: Istimewa/CakNun.com |
Identitas Buku
Judul
buku : Pemimpin yang Tuhan
Penulis :
Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Bentang
Tahun Terbit :
2019
Kota
terbit : Yogyakarta
Cetakan : 3
Tebal
buku : viii + 388 halaman
ISBN : 978-602-291-512-6
Indonesia merupakan negara yang terus mengalami
perkembangan. Suatu fenomena yang ada di bangsa ini seringkali menjadi sebuah
perbincangan yang hangat. Berbagai isu penting saat ini mulai bermunculan dan
menjadi banyak perbincangan oleh masyarakat, seperti persoalan ke-Bhinekaan,
Pancasila, Toleransi, Kemajemukan, hingga demokrasi yang saat ini tengah ramai.
Isu-isu tersebut bermunculan seiring dengan fenomena yang mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, publik dibuat resah
dengan adanya kontestasi politik yang membuat berbagai golongan memanas.
Apalagi dengan ramainya provokator bermunculan di ranah media sosial, mengingat
media sosial merupakan tempat banyak orang bisa memperoleh informasi mengenai
isu atau fenomena yang tengah terjadi. Sayangnya, beberapa orang menggunakan
media sosial dengan kurang bijak, seperti memberikan komentar yang kurang
berimbang tanpa berpikir secara jernih.
Melalui berbagai isu yang ramai dibicarakan, seperti
halnya politik, ekonomi, budaya, agama, sosial, seringkali masyarakat dibuat
bingung terkait campur aduk berbagai isu. Sehingga logika menjadi sesak dan
sulit untuk melihat mana yang benar dan salah. Tanpa berpikir jernih,
seringkali orang memberikan komentarnya dengan bebas di media sosial.
Orang-orang saling berdebat mengukuhkan bahwa ketikan jarinya (komentar) yang
paling benar. Perselisihan adalah hal yang wajar, tetapi masyarakat
semakin tidak cakap dengan merasa dirinya yang paling benar, sedangkan memandang orang lain salah.
Melihat isu dan fenomena yang terjadi, Emha Ainun Nadjib
atau yang lebih akrab disapa Cak Nun memberikan refleksi mengenai cara pandang
guna menilai persoalan-persoalan Bangsa Indonesia dengan lebih teliti, cermat,
dan bijaksana. Melalui bukunya yang berjudul “Pemimpin yang Tuhan”, buku ini
terbagi menjadi sembilan bagian, diantaranya: Suara Keledai, Bedhol Negoro,
Negeri Khilafah, Makam Pancasila, Pemimpin yang Tuhan, Siklon Jogja Guru
Utara, Anak-anak Garuda, Masyarakat Tahlil, dan Kenangan Angon.
“Benar
dan salah harus jelas di wilayah hukum. Namun, di wilayah budaya, ada faktor
kebijaksanaan. Wilayah politik, ada kewajiban untuk mempersatukan. Agama
menuntun kita dengan menghamparkan betapa kayanya dialektika antara sabil (arah
perjalanan), syari’ (pilihan jalan), tahriq (cara menempuh jalan), dan shirath
(presisi keselamatan Bersama di ujung jalan)” (halaman 15).
Cak Nun mengajarkan kita untuk menjadi sosok manusia yang
memiliki pandangan sesuai realita, sehingga dapat membedakan mana yang salah
dan benar. Jika melihat keadaan Bangsa Indonesia saat ini, banyak orang
menganggap “benar ialah menyalahkan” sebagaimana “menang ialah
mengalahkan”. Padahal nenek moyang bangsa ini mempunyai prinsip “menang
tanpa ngasorake”. Disinilah kita perlu untuk senantiasa mengkoreksi diri
sendiri, jangan-jangan kita lah yang salah dan telah mendzalimi orang
lain. Maka jika benar demikian keadaannya dapat disebut sebagai “Pemimpin yang
Tuhan”.
Kebijaksanaan
“Kenapa
sekarang ini manusia menjadi sangat pemarah? Kenapa orang makin gampang marah
dan makin sukar memaafkan? Kenapa manusia sepertinya sedang membawa dendam
kepada sesamanya sampai mati?.” (halaman 27)
Itulah
pertanyaan yang dilontarkan cak nun terhadap fenomena masyarakat saat ini.
Lebih lucunya kita sering melakukan perdebatan yang berujung pada kemarahan dan
dendam terhadap perbedaan untuk memilih siapa pemimpin yang baik?.
Kepercayaan
terhadap pemimpin memang dianjurkan, karena sebagai rakyat harus patuh kepada ulil
amri. Tetapi kepercayaan yang membabi buta tentunya tidak dianjurkan,
sebagai rakyat butuh pemikiran yang kritis dan cermat. Cak nun mengajak kita
untuk mawas diri, tidak hanya melakukan intropeksi kepada pemimpin
tetapi juga kepada diri sendiri selaku rakyat.
Keberadaban
di Indonesia
“Negara dan pemerintah tidak menerapkan
formula hukuman yang mempermalukan para koruptor di depan rakyat. Bukan karena
para koruptor dilindungi dan disembunyikan dari rakyat. Melainkan karena sudah
menjadi pengetahuan Bersama bahwa Tindakan mempermalukan hanya efektif untuk
mereka yang punya rasa malu.” (halaman 254).
Kasus korupsi yang ada di negeri ini bukanlah persoalan
yang baru. Banyak dari pemimpin telah tertangkap menyalahgunakan kuasa
wewenangnya. Mereka para pemimpin yang menyalahgunakan uang negara dapat dikatakan
mereka tidak mengetahui konsep sebagai seorang pemimpin. Banyak dari mereka
memilih menjadi pemimpin karena karier, ambisi pribadi, sumber kekayaan
pribadi, dan sebagainya.
Pemimpin dapat dikatakan budaknya masyarakat. Seorang
pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan kuat harus mau terjun di tengah-tengah
masyarakat, berani merasakan kesusahan yang dialami oleh rakyat. Pemimpin
dinyatakan gagal ketika mereka tidak memiliki integritas tinggi dalam
kepemimpinan. Sebagaimana pemimpin tidak dapat menguasai topik permasalahan
sehingga dia tidak bisa menilai apakah tindakannya benar atau justru keliru.
Sisi gelap yang terjadi pada bangsa ini bukanlah perkara
korupsi semata, akan tetapi nilai-nilai keberadaban yang seakan hilang. Jika
seorang pemimpin yang memiliki adab, tentu dia mengetahui perbuatan mencuri
adalah salah. Jika seorang pemimpin serta masyarakatnya mmeiliki adab, tentu
tidak akan terjadi Kasus Korupsi, Tindakan Kriminal, Kekerasan Seksual,
Terorisme, Nepotisme, dan Diskriminasi tidak akan terjadi.
Membaca buku “Pemimpin yang Tuhan” dapat menambah
wawasan dalam bidang kepemimpinan, Kebangsaan, Kemanusiaan, Agama, dan lainnya.
Setiap isi pembahasan disertai dengan dialog dan perumpamaan menjadikan isi
pembahasan menjadi lebih menarik. Buku ini dapat memperkaya Khasanah
pembaca. Akan tetapi, didalam buku ini terdapat banyak penggunaan bahasa
daerah, sehingga sulit untuk dapat dimengerti orang awam.
Diresensi oleh Dwi Qotrun Nada, Redaktur Pelaksana LPM
Paradigma 2022