Foto: Nada/Paradigma |
Judul
: Belajar Jurnalistik dari
Humanisme Harian Kompas, Harga Sebuah
Visi
Penulis :
Sindhunata
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Oktober 2019
Tebal : xi + 380 halaman
ISBN : 978-602-06-3465-4
Memutuskan untuk bekerja sebagai jurnalis bukanlah
pekerjaan yang mudah. Selain seorang jurnalis harus mampu menyajikan berita dan informasi detail dan
mendalam, seorang jurnalis juga harus mampu menghadirkan sisi humanismenya
dalam berita yang ia tulis. Melalui sisi humanisme ini, seorang jurnalis dapat
berperan secara netral dan berimbang, yakni memihak pada kebutuhan masyarakat.
Semua itu berhasil disajikan dengan apik oleh Gabriel Possenti Sindhunata lewat buku yang berjudul Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas, Harga Sebuah Visi. Dari buku ini, kita akan belajar bagaimana menyajikan sebuah berita yang tak hanya mendalam, tetapi juga menawarkan sisi humanisme yang menyentuh, kritis dan juga mengena.
Sindhunata adalah seorang wartawan Kompas yang dikenal melalui features-nya tentang kemanusiaan dan kolomnya tentang sepak bola dunia. Humanisme sangat erat kaitannya dengan kehidupan yang penuh dengan suara rakyat, hati nurani, dan kepedihan serta tawa manusia. Seorang jurnalis harus bisa memahami sisi insani dan manusiawi dalam mengolah pelbagai berita, melihat aspek humanisme sebagai visi penulisan akan mempermudah bagi jurnalis dalam menulis setiap momen menjadi berita yang lebih bermutu.
Buku ini merupakan karya yang dipersembahkan Sindhunata untuk Jakob Oetomo, pendiri Kompas yang dianggapnya sebagai guru sekaligus mengenalkannya dunia jurnalistik dan kepenulisan. Hal itu yang membuat Sindhunata yakin bahwa tugas jurnalis tidak hanya tentang menulis, tetapi juga menyumbangkan keprihatinan-keprihatinan tentang kemanusiaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan bangsa.
Harus Gigih
“Wartawan adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak” begitulah yang dikatakan Sindhunata dalam perjalanannya menjadi jurnalis tulis. Saat itu ia bersama Kartono yang menjadi jurnalis foto, bersamanya Sindhunata memahami bahwa menjadi jurnalis foto tidak bisa melakukan rekayasa. Terkadang jurnalis tulis tidak jujur, sehingga menyajikan berita yang tidak sesuai keadaan nyata di lapangan. Menyajikan berita yang objektif sangatlah penting, sebagaimana visi yang dipegang Sindhunata yaitu humanisme. Terkadang wartawan sebagai pekerjaan kaki membuat Sindhunata dan Kartono tak mendapat berita sesampainya di kantor, tetapi semangatnya tak pernah pudar, ia tetap berusaha mencari hal yang menarik untuk diliput.
Menyampaikan fakta dengan mata hati dalam tugas jurnalistik membuat Sindhutana harus melalui waktu yang panjang dalam menunggu seekor pesut melahirkan, jarak yang juah serta waktu yang lama membuatnya merasa tak sabar dan ingin pulang tanpa informasi sama sekali. Tetapi berbeda dengan rekannya, Kartono, ia tetap gigih menunggu pesut itu melahirkan dengan penuh kesabaran. Karena kegigihan dan kesabar membuat berita kelahiran pesut sangat menyentuh pembaca khususnya pada seorang ibu yang teringat perjuangan melahirkan, disitulah letak mata hati dalam jurnalistik, melihat setiap informasi dengan fakta yang apa adanya.
“Harus diakui, karena suka atau bahkan acuh tak acuh dan lupa terhadap sejarah, bangsa kita gampang terjerumus untuk mengulangi kesalahan yang dulu pernah dilakukaan”. (halaman 47)
Teringat dengan kata Soekarno yang diberi singkatan jasmerah “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” karena historis adalah hal yang tidak akan lepas dari diri kita, dan bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak akan melupakan memori sejarahnya. Kita akan menjadi manusia yang gagal karena lupa, itulah yang berusaha dibangun melalui tugas humanisme untuk melawan lupa. Melalui sejarah kita bisa mengingat bagaimana penindasan dan pengorbanan rakyat, sehingga seorang jurnalis haruslah mampu menyalurkan dan memperjuangkan suara rakyat khususnya rakyat-rakyat kecil.
Rakyat adalah bagian terpenting dari bangsa, maka suara rakyat sangatlah penting bagi stabilitas negara. Melalui humanisme yang berusaha melawan lupa bisa membantu manusia Indonesia menjadi makin humanis, akil balig, dan bijaksana.
Membaca teks-teks klasik membuat kita semakin mengerti akan pemahaman humaniora yang pastinya bisa memperluas dan memperdalam horizon kemanusiaan dari pelbagai aspek. Buku adalah kaki yang dapat membawa kita kemana saja bahkan berkeliling dunia, kita bisa tahu bagaimana sejarah disuatu tempat terjadi yaitu melalui buku yang dibaca. Belajar dari sejarah membuat kita semakin sadar bahwa ada hikmah atau pembelajaran yang dapat kita petik, sehingga kita bisa menjadi manusia berakal dan melek terhadap keadaan yang sedang terjadi dengan mengaitkan sejarah.
Jika buku disebut kaki dan membaca adalah berjalan, maka dengan membaca kita akan mempunyai kaki yang kuat, sehingga dengan kaki yang kuat kita mampu menjelajah. Bagaimana kita mempunyai inspirasi untuk menjelajah, jika tidak melalui membaca?. Maka memiliki kaki yang kuat dapat menopang segala kelemahan dan menguatkan diri sendiri. Dengan membaca kita dapat mengenal Tuhan lebih dekat melalui Kitab Suci-Nya, kita bisa tahu bahwa Rahmat dan pengampunan Tuhan sangatlah luas, seluas yang telah kita jelajahi. Orang bisa taubat juga dipengaruhi kegiatan membacanya, setelah membaca Kitab Suci seakan mereka mengetahui apa yang benar dan salah.
Ubah Laku
Mengubah diri dengan membaca adalah hal efektif untuk dilakukan, sebagian orang merasa memiliki semangat hidup setelah membaca motivasi dan bahkan melalui Kitab Suci. Penjelajahan melalui membaca memang nyatanya sangat berpengaruh dalam menghidupkan kembali humanisme pada setiap manusia, membaca mampu membuat kita berfantasi, melawan keburukan, dan berdo’a kepada Tuhan.
“Pembahasan mengenai objek realitas untuk penulisan berita ini terdiri atas dua bagian. Pertama, mengenai hal-hal yang lebih teknis tentang apa-apa yang bisa dijadikan objek untuk berita. Dalam bagian pertama ini, sesuai dengan pengalaman saya, human interest masyarakat bawah sebagai objek kiranya mendesak untuk paling diberi perhatian bagi penulisan berita. Dalam bagian ini, saya mengutarakan masalah-masalah komunikasi dengan mereka, demi penulisan berita yang kurang lebih dapat mencerminkan kepentingan mereka”. (halaman 104)
Kiranya human interest sekarang ini kurang mendapatkan ruang jurnalistik, padahal dengan human interest berita-berita yang dipaparkan akan menarik bagi pembaca karena perkenaan kisah manusia. Kisah orang-orang kecil, rakyat kesusahan, dan perjuangan manusia akan memancing sebuah simpati khalayak umum. Seperti pada kisah komidi monyet Kemis Sugimun ternyata bisa memancing pembaca untuk merasakan menjadi badut yang tragis karena kemiskinan dan kekurangannya. Jurnalistik humanisme juga mengakarkan diri pada lokalitas kultur, mental, dan sosial. Kisah tempat-tempat dengan segala peristiwa yang sempit perlu untuk diangkat karena dari tempat itu biasanya terdapat sebuah kultur budaya yang sangat luar biasa.
Dasar jurnalisme adalah kata dan bahasa. Pemilihan kata dan bahasa merupakan titik fokus terpenting dalam penulisan, karena bahasa yang baik akan menentukan kuantitas pembacanya. Tidak hanya pemilihan tema, tetapi juga memberikan kesan, agar tema yang diangkat tidak kehilangan keleluasaan dan kedalaman dari materi. Sehingga jurnalis harus mampu menyajikan berita yang tidak hanya menyampaikan materi yang padat tetapi juga harus bisa termuat dalam versi yang singkat.
Bahkan untuk sekelas sepak bola yang hanya menjadi perhatian di lapangan hijau dengan beridentikkan pertandingan dan permainan belaka. Diyakini, bahwa di dalam sepak bola bisa menjadi bagian kisah kronologi kematian yang diwartakan, seperti dalam karya Gabriel Garcia Marquez “Cronica de una muerte anunciada”. Di lapangan hijau semua hal bisa terjadi, kekalahan dalam hitungan detik kerap dijumpai bahkan mungkin sering, sehingga di situlah dapat terkuak sebuah luka sejarah kelam suatu bangsa. Melalui tulisan sepak bola wartawan bisa menyampaikan aspirasi dan harapan akan pemerintah presidennya.
Dalam buku “Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas Harga Sebuah Visi” memberikan kita bagaimana semestinya seorang wartawan dalam menulis berita-beritanya perlu dengan humanisme. Penyertaan sebuah kisah-kisah melalui pengalaman dan perjalanan membuat para pembaca merasa tidak bosan dan seolah-olah merasakan peristiwa dan kejadian tersebut. Materi yang beralur membuat pembaca khususnya pemula dibidang jurnalistik mudah untuk mencerna dan memahaminya.