Redaktur Pelaksana Harian Suara Merdeka, Saroni Asikin bersama Ketua Program Studi KPI, Ahmad Zaini dalam diskusi media jurnalistik, Kamis (23/06/2022). (Foto: Nada/Paradigma) |
PARIST.ID, Kampus - Menyikapi maraknya media jurnalistik dalam bentuk digital, Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) IAIN Kudus menggelar diskusi dengan mengusung tema "Masa Depan Media Cetak di Era Jurnalisme Digital". Acara tersebut dibarengi dengan pameran media cetak berupa majalah oleh mahasiswa KPI semester 6, bertempat di Gedung PKM pada Kamis (23/06/2022).
Menggaet dua narasumber, yaitu Ketua Program Studi (Kaprodi) KPI, Dr. H. Ahmad Zaini, Lc., M.S.I., dan Redaktur Pelaksana Harian Suara Merdeka, Saroni Asikin. Diskusi media ini diikuti mahasiswa KPI untuk belajar menjadi jurnalis yang memiliki idealisme, ditengah maraknya media jurnalistik yang tidak sesuai.
Kaprodi KPI, Ahmad Zaini mengatakan perkembangan zaman semakin pesat sejalan dengan teori-teori global village. Sehingga hal tersebut membuat media cetak perlahan mengalami kemunduran.
"Media digital dalam kurun waktu 30 tahun mengalami perkembangan yang sangat cepat sekali. Sekarang ini kita memasuki digital distruption dimana media cetak tahun 1990-an sangat menarik dan sekarang sedikit demi sedikit mengalami perubahan," jelasnya.
Lebih lanjutnya lagi ia menjelaskan bahwa hampir seluruh masyarakat Indonesia saat ini menggunakan media sosial. Maka dari itu masyarakat saat ini lebih suka membaca berita melalui media online ketimbang media cetak.
"Saat ini penduduk Indonesia kurang lebih ada 200 juta jiwa, dan 191 juta penduduk menggunakan media sosial," pungkasnya.
Senada dengan Zaini, Saroni Asikin mengungkapkan media cetak saat ini seperti tak memiliki masa depan. Hal ini disebabkan banyak media digital yang saat ini menguasai platform jurnalistik dengan tidak berdasarkan etika seorang jurnalis. Ia pun merasa geram dengan banyaknya oknum-oknum yang dalam pembuatan berita tidak disesuaikan dengan fakta dan justru lebih condong kepada pihak-pihak tertentu.
"Jawabanya jelas masa depan media cetak remang-remang, awalnya ada media besar di Amerika yang sudah menutup platform cetaknya, barangkali mati suri dengan harapan bisa hidup lagi," harap Saroni.
Ia mengajak peserta diskusi untuk mengingat masa-masa silam saat media cetak masih banyak dibaca orang. Hal tersebut tentu yang membuatnya sangat merindukan masa-masa silam yang saat ini tengah digambarkan melalui lagu Cak Nan yaitu Mendung Tanpo Udan.
"Sepertinya Cak Nan menciptakan lagu itu terinspirasi dari masa kecilnya dulu. Dalam cuplikan lirik aku moco koran sarungan, kowe blonjo dasteran, Saat ini melihat orang membaca koran apakah masih ada? melihat orang tua yg membuka koran pagi-pagi dengan disampingnya kopi dan merokok, saya yakin tidak ada dan mungkin itu angan-angan masa kecilnya," ucapnya.
Lebih lanjut, ia menceritakan bagaimana proses sebuah berita dapat berada ditangan pembaca. Ada proses yang amat panjang melalui banyak orang membuat berita dalam koran sangat jelas kredibilitasnya. Sebuah berita harus berada bolak-balik (red_koreksi) di meja redaksi sebelum bisa dibaca orang lain.
"Proses kerja jurnalistik yang paling membutuhkan konsentrasi kepekaan itu media cetak, soal revisi jangankan tak berbiaya, taruhlah satu berita dibaca orang prosesnya luar biasa panjang, banyak tangan, banyak kerepotan," jelasnya.
Diakhir diskusi, ia memberikan semangat kepada generasi muda yang ingin terjun di dunia jurnalistik. Bahwa seorang jurnalis adalah pekerjaan yang mulia karena ia membawakan sebuah berita yang sifatnya untuk memeriksa atau tabayun.
"Jurnalis itu memanggul beban kenabian," pungkasnya.
Salah satu peserta diskusi, Lintang Rizki merasa senang dengan diadakannya diskusi tentang media jurnalistik. Ia merasa mendapatkan wawasan yang baru, serta beragam pengalaman yang diceritakan oleh narasumber.
"Diskusi sangat menarik, dan dapat menambah wawasan," ucapnya.
Editor : Na