Foto : Hasna/Paragraph |
Program mengkampanyekan kesetaraan gender dan pencegahan kekerasaan seksual nyatanya masih jarang didengar di lingkungan IAIN Kudus. Kampus islam satu-satunya di kota religi itu, kekerasan seksual masih menjadi hal yang tabu oleh sebagian besar warga kampus. Beberapa kasus yang terjadi terhadap mahasiswa, pun hanya menguap sebentar tanpa adanya tindakan yang jelas dan sering diabaikan.
IAIN Kudus sebagai kampus yang menjadi gudang keilmuan Islam dan ilmiah belum mampu menerapkan zero tolerance dan lingkungan yang aman bagi perempuan. Beberapa mahasiswi yang dihubungi Paradigma, mengaku pernah dilecehkan baik secara fisik maupun secara verbal.
Kasusnya cukup beragam, ada yang antar
mahasiswa, ada yang dosen dengan mahasiswa, ataupun mahasiswa dengan masyarakat
luar. Dari beberapa kasus yang kami terima, masih saja korban yang disalahkan.
Lebih parahnya lagi, pelaku justru tidak merasa bersalah dan hanya menganggap
kekerasan seksual yang dilakukannya sebagai bahan candaan belaka. Sangat
disayangkan jika sikap seperti ini masih menjamur di perguruan tinggi yang ada
di Indonesia.
Baru-baru ini, kasus yang sempat ramai
diperbincangkan oleh berbagai media, terjadi di IAIN Kediri. Mengutip dari laporan CNN Indonesia pada (24/08/2021), Ketua
Program Studi (Kaprodi) di IAIN Kediri telah melakukan perbuatan seksual
terhadap mahasiswi saat meminta bimbingan skripsi di rumah pelaku.
Di instansi lain, laporan dari Tangerang
News
menyebutkan seorang mahasiswi Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah menjadi korban pelecehan
seksual pengemudi ojek online (ojol) dengan memegang bagian dada korban, Rabu (4/3/2020). Hal
serupa tentu terjadi di banyak perguruan tinggi dengan berbagai motif dan kasus
berbeda.
Dianggap Wajar
Beberapa
kasus yang terjadi pada mahasiswa IAIN Kudus masih dianggap hal yang tidak hal
yang tidak serius. Baik pelaku maupun korban terkadang tidak menyadari adanya
tindakan pelecehan dan kekerasan seksual. Tidak beraninya si korban untuk speak up dan minimnya respon dari
berbagai pihak justru menimbulkan kasus-kasus baru, dan kasus lama akan semakin
tenggelam. Seperti kasus yang terjadi pada Rindi (bukan nama sebenarnya),
mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Islam semester tiga meskipun pakaian yang dikenakan tidak terlalu seksis dan
menampakkan bentuk tubuhnya, teman-temannya masih saja mengintimidasi Rindi
lewat candaan-candaan yang mengarah pada pelecehan verbal sehingga membuatnya
merasa tidak nyaman.
“Terkadang
saya heran, padahal pakaian saya juga tertutup, berkerudung dan juga selalu
menutup dada. Setiap saya tanya pasti jawabannya nggak tau. Saya risih dengan
sikapnya yang seperti itu,” jelasnya saat dihubungi Paradigma, Senin (26/07/2021).
Tidak
hanya terjadi pada Rindi saja, Andin (nama samaran), mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam semester akhir juga
mengaku kerap kali mendapat komentar buruk dari mahasiswa atau ajakan online
dari teman dekatnya untuk berfoto seksi atau Video Call Seks (VCS).
“Saya seringkali mendapatkan
ajakan online lewat DM atau
media sosial pribadi saya.
Bahkan teman dekat saya pernah bilang
"Ndin,
foto yok! betapan tapi wong loro tok (Ndi foto seksi yok, tapi
berdua saja)" atau "Hmmm... gedene (Hmmm besarnya)", pernah juga pas suasana hujan ada kating yang bilang “Anyep iki, medal yok, tak bayari, piro iki? (Dingin
ini, keluar yuk, ku bayar, berapa?)" seperti itu,” akunya kepada Paradigma
lewat sambungan telepon, saat diwawancarai pada Selasa (27/07/21) melalui
WhatsApp.
Sampai
tulisan ini dibuat, Andin tidak berani melapor ke dosen atau pihak kampus
karena menganggap pelaku adalah teman sendiri dan hal itu candaan dari temannya
yang tidak perlu dianggap serius. “Untuk
yang lain aku anggep guyonan lah, anak kampus kaya gitu. Tur omonganku kasar
juga sebagai proteksi diriku biar gak dilecehkan juga, (Untuk yang lain
saya anggap bercanda, mahasiswa memang begitu. Ucapakanku juga kasar karena
tidak ingin dilecehkan juga),” kata Andin.
Meskipun tidak sampai melapor, kekerasan seksual dalam
bentuk digital seperti ini tidak hanya dialami Andin saja. Ada yang diminta
mengirimkan foto atau video vulgar dirinya, ada yang mendapat kiriman berupa
gambar atau video porno dari temannya, atau chattingan yang mengarah pada
bentuk tubuh dan pelecehan seksual. Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender
Online (KBGO) memang sedang marak terjadi. Apalagi, kondisi pandemi yang
menyebabkan semua kegiatan dialihkan dari luring menjadi virtual.
Menulusuri
tindak pelecehan seksual dan kekerasan seksual, bentuk-bentuk kekerasan
berbasis gender sangat beragam. Antara lain adalah pelecehan online (cyber harassement), cyber
stalking, memperdaya (cyber grooming), ancaman distribusi foto/video pribadi, atau
bahkan penyebaran konten ilegal.
Dalam
wawancara melalui sambungan WhatsApp, Malaiha Dewi selaku staf lembaga PSGA (Pusat Studi Gender dan
Anak) IAIN Kudus menyatakan bahwa korban
perlu disadarkan jika ia sedang mengalami pelecehan seksual atau kekerasan
seksual. Dari contoh kasus Andin jika dicermati tentunya sangat merugikan
korban bagi kedepannya. Antara lain adalah citra atau nama baik korban akan
tercemar dengan pelecehan yang didapat. Parahnya pelaku juga menyadari
tindakannya dan menganggap itu merupakan hal yang wajar.
"Para korban, terkadang tidak menyadari bahwa dia sedang mengalami pelecehan seksual atau bahkan sampai kepada kekerasan seksual. Karena seringnya dia mendapatkan perlakuan, tindakan, atau ucapan yang tidak wajar," ungkap Malaiha Dewi pada Sabtu (31/07/21) melalui telpon WhatsApp.
Ancaman dan Ketergantungan
Kekerasan seksual juga terjadi
pada mahasiswa yang mengalami hubungan tidak sehat (toxic relationship) dengan pelaku. Hubungan tidak sehat ini dapat
terjadi karena si korban mempunyai ketergantungan yang membuatnya harus
menuruti apa keinginan si pelaku, termasuk hal yang mengarah pada kekerasan
seksual.
Kasus
yang terjadi pada Gea (nama samaran)
misalnya, mahasiswi Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam semester lima yang mendapat pelecehan seksual dari Udin (bukan
nama sebenarnya), salah satu dosen pengampunya. Dengan motif iming-iming
menjanjikan keringanan UKT, Udin berhasil memperdaya Gea dengan memegang dan
menciumnya di toko fotokopi yang ada di belakang kampus barat.
“Mikirnya ya oke-oke aja, soalnya kan ijinnya makan-makan. Pada saat UKT keluar aku bener-bener dapat keringanan, dan aku diminta ketemu di fakultas tapi waktu itu aku ngajak temenku ke kampus,” ucap Gea. “Selesai ngobrol aku pamit dan dia malah langsung pegang badanku dan mencium itu bener-bener udah buat aku berfikir jelek,” tambahnya dengan nada kesal.
Tak sampai di situ saja, Gea merasa mendapat ancaman dan ketergantungan dengan si dosen karena harus menepati janjinya. Suatu ketika, Gea diajak ke salah satu hotel yang ada di Kudus. Sontak, Gea kaget dan ketakutan. Sebelum masuk ke kamar hotel, ia langsung meminta Udin untuk mengantarkan Gea ke kampus lagi.
“Pas di depan pintu, dia udah masuk kamar aku bilang ‘aku harus kekampus sekarang ini di telfon bulek ditungguin sekarang’, terus dia bilang ‘ndakpapa lain kali lagi, sekarang ke kampus,” cerita Gea menirukan percakapan dengan dosennya waktu itu. Meskipun belum sempat terjadi pemerkosaan atau pelecehan, Gea sempat traumatis dan sulit untuk melupakan kejadian itu.
Pertengahan September
2020, kejadian serupa
juga dialami oleh mahasiswi IAIN Kudus. Berawal
dari suatu hubungan yang dimiliki Leni (nama samaran korban) dan Roni (nama samaran). Kepada Paradigma, Leni
mengaku pernah melakukan
hubungan di luar nikah. Tanpa disadari,
ternyata Roni merekam perbuatan mereka. Sejak saat itu Roni, selalu meminta hal-hal aneh kepada Leni
dan membuatnya merasa
tidak nyaman dalam menjalankan
hubungan. Dari situ setiap Leni mengajak putus Roni, ia mendapatkan ancaman
foto Leni disebarluaskan. Sampai hubungan tersebut bertahan satu
tahun.
Karena tak tahan, Leni
memutuskan untuk mengakhiri hubungan
dengan kekasihnya Roni. Merasa dirugikan, Roni bertekad menyebarkan nyebar foto di media sosial. Bukan hanya
itu, Roni
juga telah mencuri semua data Leni lalu dan
menyebarkan foto Leni ke laman Facebook dan
group Pekerja Seks Komersial (PSK).
Dari situ, Leni langsung berkonsultasi dengan dosen dan
akhirnya diarahkan ke PSGA.
"Alhamdulillah, dari kaprodi memberikan
masukan untuk bertemu dengan tim PSGA IAIN Kudus. Di situ saya berkata
sejujurnya dan berbicara apa adanya. Sampai akhirnya diberi nasehat untuk
bercerita kepada keluarga. Sebab waktu itu belum berani bercerita," ujarnya ketika dikonfirmasi tim Paradigma pada Kamis
(29/07/2021).
Setelah keluarga Leni mengetahui hal ini dan ingin
menyelesaikan dengan cara baik-baik, selang dua minggu, Roni justru mengirim
foto vulgar Leni ke keluarganya. Mengetahui kejadian yang sebenarnya, keluarga
Leni kemudian melaporkan kasus ini ke lembaga berwenang sehingga
Roni dijatuhi vonis bersalah.
Melihat kasus di atas menunjukkan bahwa rekam jejak
digital sangat sulit dihilangkan. Nyatanya
banyak masyarakat yang masih menilai kekerasan seksual sebagai aib. Adanya ancaman dari pelaku untuk bertindak lebih jauh, kekuasaan dan kewenangan
yang jauh lebih tinggi dari si pelaku
membuat korban semakin bungkam dan tidak berani untuk speak up.
Jika
ditelusuri lebih dalam, mungkin masih ada korban yang mengalami kasus KBGO.
Namun, ketakutan dan intimidasi mengurungkan niat mereka. Tentu untuk memberikan rasa
aman kepada semua mahasiswa yang
rentan menjadi korban diperlukan regulasi yang
sah mengenai Penanganan Kasus
Kekerasan Seksual di IAIN Kudus,
semoga.
Reporter: Alfia, Nada, Eni
*Telah dirilis pada majalah Paradigma edisi ke-36