Digelarnya
Pengenalan Budaya Akademik (PBAK), saya teringat tiga tahun lalu bagaimana
proses bekerja keras untuk memperjuangkan nasib saya dibangku kuliah. Memasuki
dunia kampus dimanapun baru mengalihkan status menjadi "Mahasiswa
Baru". Hadirnya berbagai jurusan yang beraneka ragam menjadikan hidup
penuh pilihan alternatif untuk meraih kesuksesan. Sayanganya banyak mahasiswa
yang masih merasa salah jurusan karena pilihannya utama ditolak dan bahkan terpaksa
akibat pilihan orang tua.
Kembali berbicara budaya
akademik rasanya para akademisi termasuk mahasiswa tidak akan jauh tentang ilmu
pengetahuan. Gencarnya perkembangan tekonologi dan ilmu pengetahuan membuat
para akademisi dituntut mengikuti arus dengan rambu-rambu ilmu pengetahuan. Tapi
sayanganya, sering kali mahasiswa hanya menikmati gelarnya untuk kuliah,
organisasi selebihnya ialah self rewarding seperti ke kafe, ke
mall dan sebagainnya. Padahal beban sebagai mahasiswa sangatlah berat. Mahasiswa
dituntut menguasai segala bidang dan terampil di masyarakat. Padahal Pengenalan
Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) harus mampu mengingtakan tugas sebagai
mahasiswa. Seperti menjadi agent of change maupun iron stock bagi
bangsa ini. Hal ini dapat dihidupkan melalui budaya kampus seperti membaca
buku, diskusi kecil, penulisan jurnal dan membuat perubahan sekitar. Adapun budaya akademik kemahasiswaan sebagai kampus
islam juga harus mengimbangi dunia pengetahuan dan dunia keislaman. Hal ini
dapat dimulai dengan menghidupkan tradisi-tradisi akademik dari hal-hal kecil.
Melempemnya Budaya Diskusi
Diskusi
menjadi senyawa penting dalam menghidupkan nalar kritis seseorang. Namun, saya
teringat dulu setelah pulang jam perkuliahan banyak mahasiswa yang melingkar di
depan gedung kampus sampai petang hanya untuk bercengkrama membahas urusan
negara maupun polemik kampus yang tiada henti. Kini setelah pandemi, tradisi diskusi
mulai luntur. Para mahasiswa hanya menyibukkan diri dengan kegiatan yang mereka
sukai termasuk terlalu sering boros demi memenuhi kebutuhan self healing dan
konten di media sosial. Para mahasiswa baru memiliki semangat yang
menggebu-gebu sering kali hanya ikut-ikutan kesana kemari untuk mengikuti
organisasi di kampus. Layaknya manusia yang butuh pengakuan terhadap keberadaan
dirinya, sebagai mahasiswa baru hingga mahasiswa tua diskusi di kampus ini
cenderung hanya diramaikan oleh anak organisasi mahasiswa (ormawa). Padahal
tradisi ini bukan hanya berlaku di kelas perkuliahan namun diskusi kecil
menjadi bagian dalam mengembangkan pengetahuan.
Cara
seseorang dalam bersosialisasi dan berkomunikasi menjadi salah satu jalur dalam
membuka bagaimana membenahi masalah pribadi dan bahkan masalah negara. Perlu
diketahui, mahasiswa bukan para pendemo yang disewa dan selalu
dikompor-kompori. Sehingga budaya diskusi di kampus dan nalar kritis harus
harus selalu berjalan dan diwariskan kepada seluruh angkatan. Sebab, kritik dan
diskusi sebagai senjata mahasiswa dalam membenahi kebijakan pemerintahan yang
arogan dalam memimpin negeri ini. Hak kritik yang diberikan kepada warga negara
termasuk mahasiswa harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Sementara itu, diskusi
kampus aktif hanya cenderung di forum seminar, dan FGD yang sering kali dibatasi pesertanya.
Selama
dibangku Sekolah Dasar hingga Tingkat Atas, buku catatan menjadi bukti bahwa
kita telah belajar. Berbeda ketika menyandang gelar mahasiswa, laptop dan buku
bacaan harus dipertebal sebagi bukti bahwa penulisan ini adalah hasil riset.
Batasan jumlah refrensi yang digunakan menjadi Jika kita menengok kembali, kampus ini
menyimpan prestasi yang cukup membanggakan. Sehingga, diskusi sebagai sarana
dalam mengembangakn penelitian untuk ditulis dan diriset ulang secara mendalam.
Akan tetapi rendahnya tingkat diskusi mahasiswa tidak sebanidng dengan Juara 3
se Asia pada Jurnal QIJS menjadi bukti bahwa pengembangan ilmu pengetahuan di
IAIN tidaklah stagnan. Namun jika kita menengok budaya mahasiswa yang sering copy
paste dan hanya mengganti lokasi penelitian cenderung tidak berdiskusi dan
rendahnya tingkat membaca ilmu tersebut hanya dikembangkan oleh dosen dalam
bersaing meningkatkan pangkat.
Agent of Change Bukan
Sandang Yang Diremehkan
Seperti yang digaungkan para sosiolog sekarang, agent of change bukan
sekedar bunyi tong kosong berbunyi nyaring sebagai baju mahasiswa. saya
teringat kembali waktu sebagai mahasiswa baru teman saya mengepost postingan
foto twibbon yang mengaku sebagai agent of change. Menurut saya kuaitas
mahasiswa sesungguhnya bisa dilihat dari indikator perubahan yang diciptakan. Sebagai
mahasiswa secara terus terang pasti yang diinginkan ialah lulus dengan cepat
dan meraih predikat cumlaude. Padahal peran mahasiswa sebagai agent of
change tidak boleh dikesampingkan. Mengingat kembali Tri Darma Perguruan
Tinggi juga harus melakukan pengabdian pada masyarakat. sehingga agent of
change menjadi jiwa power yang harus tertanam dalam diri mahasiswa.
Organisasi mahasiswa menjadi wadah gerak dan pendobrak dalam mengabdikan diri
mahasiswa sebagai makhluk sosial. akan tetapi, memasuki sebuah organisasi
dibuat sebagai ajang membranding diri dan memperbagus CV. Meskipun terdpat stigma
sebagai budak organisasi ternyata langkah ini sebagai bukti pengabdian
mahasiswa kepada negara.
Berbicara
soal perubahan, saya ingin menggaris bawahi bahwa diskriminasi pendidikan Islam
dan pendidikan umum yang ada di Indonesia terlihat jelas skatnya. Program
Kampus Merdeka belajar yang belum sepenuhnya berlaku di IAIN Kudus menjadi
keresahan saya saat bersaing di dunia kerja. Saya sering membayangkan berbagai
pesaing menyodorkan pengalaman dan sertifikat terbaiknya yang dikeluarkan oleh
kementerian Riset dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan
saya hanya berbekal pengalaman yang saya dengar dari mereka. Sontak hal ini
membuat saya harus bekerja keras mengais pengalaman hidup. Jika kita menengok
di media sosial komunitas yang didirikan oleh mahasiswa yang bejenjang memang
patut diakui jempol. Sebagai lembaga independen komunitas tersebut harus menarik
massa sebanyak dan mendobrak tradisi yang menghambat kemajuan bangsa. seperti
komunitas jendela puisi, dan komunitas Taman Pendidikan Sumber Air Amla. Sayangnya, keegoisan mahasiswa yang hanya mementingkan
kesibukan lainnya belum tersadar harus bergerak dari mana dan merupakan
tanggung jawab siapa. Oleh sebab itu, saya berpesan kepada mahasisw baru untuk
menjalnakn kulaih bukan sekedar mengingatkan bahwa perjuangan kemerdekaan juga
tercipta dari para pemuda bangsa yang bergerak sebagai pemimpin. Akan tetaoi
rakyat sebagai orang kecil yang diayomi.