Tidak dapat dipungkiri jika perkembangan media saat ini seakan tidak terbendung. Apalagi didukung dengan slogan yang mengatakan “Kebebasan Pers Merupakan Bagian dari Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat”.
Sebelumnnya saya jelaskan dulu jika tulisan ini untuk menanggapi seorang teman yang mempertanyakan independensi Pers dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Sebab artikelnya yang berisi kritik terhadap kampus perihal ketidakterbukaan dan belum adanya publikasi ucapan belasungkawa terhadap meninggalnya calon mahasiswa baru.
Sebelumnya sempat beredar berita dari salah satu media yang memberitakan, bahwa mahasiswa tersebut meninggal karena memiliki riwayat penyakit berat.
Sementara menurut pernyataan humas kampus, mahasiswa tersebut belum mengikuti Technical Meeting (TM) dan kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK).
Mengacu pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Kebebasan Pers adalah kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat melalui media massa. Dari pengertian itu muncul pemahaman yang justru salah kaprah, bahwa kita bebas melakukan apa saja di dalam media massa.
Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya oknum-oknum yang melontarkan ujaran kebencian atau tindakan provokasi yang menyulut kemarahan publik melalui media dengan mengatasnamakan “Kebebasan Pers Merupakan Bagian dari Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat”.
Lantas demikian, apakah kebebasan pers benar benar tidak punya aturan? Tentu saja tidak!. Karena jika memang demikian maka tidak akan ada peraturan pemerintah tentang UU ITE seperti yang tercantum pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016. Tidak akan ada Kode etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers pada 24 Maret 2006. Selain itu jika kegiatan Pers benar benar dibebaskan, akan memicu timbulnya banyak konflik.
Fakta Harus Memperhatikan Kondisi
Setelah mendapat pertanyaan tentang Independensi Pers, saya jadi penasaran dengan makna dari kata tersebut. Independensi berarti Kemandirian, sedangkan Independen bermakna tidak terikat.
Dari pengertian tersebut sebenarnya sudah jelas tetapi masih banyak masyarakat yang menyamakan independen dengan netral yang artinya tidak berpihak. Jadi apakah LPM yang identik dengan sebutan lembaga independen serta statusnya yang berada di bawah naungan perguruan tinggi menjadi keliru karena meredam sebuah tulisan opini?
Bisa iya tapi juga bisa tidak. Hal itu ditinjau dari nilai kepentingan mendesak apa yang diwakili tulisan tersebut. Dalam hal ini, opini yang menuntut publikasi ucapan belasungkawa untuk keluarga calon mahasiswa baru itu harus diidentifikasi. Apakah tulisan tersebut benar-benar mewakili keluarga yang bersangkutan atau hanya sekedar demi memuaskan rasa penasaran penulis.
Selanjutnya, ditinjau dari fakta serta data yang dicantumkan. Hal ini penting karena untuk menghindari adanya tudingan pencemaran nama baik. Bagaimanapun dalam menyampaikan informasi tidak boleh mencampurkan argument yang menghakimi (pendapat pribadi) kecuali opini Interpretasi yakni pandangan yang dibangun atas fakta, hal ini tercantum dalam kode etik jurnalistik pada pasal tiga.
Mengacu kembali pada kode etik jurnalistik. Disebutkan dalam pasal satu “ Wartawan Indonesia bersikap independent, menghasikan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk. Hal yang perlu diperhatikan dalam pasal ini ialah kata berimbang ditafsirkan bahwa dalam penyampaian informasi semua pihak yang bersangkutan harus mendapat kesempatan setara utuk memberi penjelasan.
Kemudian, dilihat dari akibat yang ditimbulkan. Apakah informasi yang disebarkan memiliki potensi untuk memicu kekacauan seta ketakutan publik? jika iya, salahkah meredam informasi demi menghindari konflik.
Kita dibebaskan untuk menafsirkan segala sesuatu sebagai bukti kesadaran kita terhadap kejadian yang ada. Namun media massa merupakan tempat yang dapat diakses siapapun maka dari itu kita harus mengontrol tindakan yang kita lakukan. Apalagi di dalam Media Massa yang memiliki Visi bukan Media Massa milik pribadi.
*) Ahmad Nur Ihsan, Anggota Detik LPM Paradigma