Sejumlah komunitas jurnalis menuntut pembatalan remisi terhadap Susrama. (Foto : Suara.com) |
Menjalani profesi sebagai wartawan bukanlah persoalan yang mudah. Wartawan bertugas menyebarkan informasi yang relevan kepada masyarakat. Ada banyak hal yang tak luput dalam pemberitaan wartawan, seperti halnya seputar perekonomian, pendidikan, pemerintahan, olahraga, dan sebagainya. Pada sisi pemberitaan pemerintah, terkadang menimbulkan sisi pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Tak jarang, wartawan yang memberitakan persoalan sensitif dikalangan masyarakat turut menjadi ancaman bagi keberadaan wartawan tersebut, apalagi sampai berimbas pada nyawa. Ada banyak perkara sehingga hal demikan dapat terjadi oleh pemberitaan yang kritis, salah satunya mengenai pemberitaan dugaan korupsi. Seperti yang dialami oleh Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa, seorang wartawan Jawa Pos Radar Bali yang dibunuh sebab pemberitaan.
Tercatat pada tahun 2008-2009, Narendra seringkali mengungkap kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh I Nyoman Susrama. Pemberitaan kritis nan sensitif itu terkait dugaan korupsi yang dilakukan Susrama dalam pembangunan proyek Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli. Salah satu yang disorot dalam pemberitaan Narendra adalah proyek pembangunan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) Internasional di Bangli.
Pemimpin proyek Pendidikan Kabupaten Bangli, Susrama merupakan adik kandung dari Bupati Bangli, Nengah Arnawa yang telah menjabat dua periode (2000-2010). Terjadi relasi kuasa atas kasus pembunuhan ini. Susrama merupakan aktor dengan dibantu sebanyak enam pelaku lainnya, yaitu Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana, Dewa Sumbawa, Endy, dan Jampes.
Dilansir dari Kompas.com, kronologi kejadian berawal dari Komang Gede yang menjemput calon korban. Kemudian Nyoman Rencana dan Mangde menjadi eksekutor pembunuhan dan membawa mayat korban untuk dibuang ke laut di Perairan Padangbai, Karangasem. Sedangkan Dewa Sumbawa, Endy dan Jampes, bertugas membersihkan darah korban. Narendra dikabarkan hilang selama lima hari, kemudian ditemukan tidak bernyawa dengan kondisi tubuh rusak pada 16 Februari 2009 di Teluk Bungsil, perairan Padang Bai, Karangasem.
Oleh adanya insiden pembunuhan ini, pada 15 Februari 2010, Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis untuk Susrama. Ketua majelis hakim Djumain menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup kepada Susrama. Atas insiden pembunuhan berencana itu, Susrama dinyatakan melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan pasal 51 ayat 1 ke-1 KUHP yakni secara bersama-sama turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan.
Vonis tersebut dikatakan lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa berupa hukuman mati. Hakim kembali menegaskan bahwa pembunuhan dilatarbelakangi oleh pemberitaan yang ditulis korban pada tahun 2008. Sebelum kejadian pembantaian itu, pihak terduga korupsi Susrama tidak pernah menggelar audiensi dengan Narendra mengenai konten berita yang ditulis korban.
Pernyataan ini diungkapkan oleh rekan wartawan Radar Bali, Anwar menyatakan bahwa tidak ada gelar audiensi terkait terduga pelaku. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Pers bahwa jika terdapat pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan, maka dapat meminta hak jawab atau klarifikasi pada media yang bersangkutan.
Sosok Wartawan Kritis
Menurut pengakuan rekan wartawan Radar Bali, Rosihan Anwar saat dihubungi melalui whatsApp pada (15/06/2022) mengenang kejadian 13 tahun yang lalu. Saat insiden kejadian, Prabangsa sebenarnya ditugaskan menjadi salah satu panitia Deteksi Basket League (DBL), yaitu kompetisi tahunan yang digelar Jawa Pos. Anwar mengenal bahwa Renandra merupakan sosok jurnalis senior yang disiplin dan tepat waktu datang ke kantor.
Akan tetapi pada 9 Februari 2009, Renandra tidak datang ke kantor, tanpa ada kabar. Nomornya tidak aktif saat ditelpon, kemudian keluarga yang dihubungi mengaku tidak mengetahui keberadaan Narendra. Kemudian tiga hari berikutnya ketika Radar Bali merayakan ulang tahunnya, kawanan jurnalis baru sadar telah kehilangan jurnalis yang bertugas meliput di kantor DPRD Bali dan Pemerintah Provinsi Bali itu. Pasalnya, ia mendapat kabar bahwa mayat Narendra ditemukan mengambang di Teluk Bungsil.
Selama ini, Narendra dikenal sebagai wartawan yang kritis. Ia seringkali menggali informasi lebih mendalam untuk mengungkap perkara kasus yang sedang ia selidiki, termasuk kasus Susrama itu. Selain itu, Renandra juga menjadikan DPRD lebih terbuka dengan media dan masyarakat. DPRD seringkali mengadakan jumpa pers kepada sejumlah media terkait program kerja.
Anwar masih mengingat kebiasaan Renandra juga seringkali mengulik informasi kepada sejumpah sopir pribadi dewan anggota DPRD dan satpam. Maka dari itu tidak heran jika dia sering menerima informasi sensitif terkait itu. Bagi Anwar, pembunuhan Renandra menjadi pesan tersendiri bagi rekan jurnalis untuk tetap mempertahankan kredibilitasnya sebagai jurnalis dengan tetap memberitakan secara berimbang.
Perjuangan Komunitas Jurnalis
Dengan adanya insiden kematian Renandra, sejumlah komunitas jurnalis gencar melakukan unjuk rasa memperjuangkan keadilan. Jokowi sempat mmeberikan remisi kepada Susrama dari vonis hukum seumur hidup menjadi hukuman 20 tahun penjara. Tetapi remisi tersebut diprotes oleh kawanan jurnalis di berbagai kota hingga nasional.
Sebut saja Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Perhimpunan Jurnalis Nusa tenggara Timur (Pena NTT), LBH Bali, Frontier Bali, AMP Bali, manikaya Kauci, DPW MOI Bali, ProDem Bali, dan LMND Bali. Sehingga dengan banyak pertimbangan karena masukan itulah, Jokowi akhirnya membatalkan pemberian remisi kepada Susrama pada 9 Februari 2019.
Pihak media Radar Bali melakukan koordinasi dengan kepolisian untuk melakukan penyidikan terkait penyebab kematian korban. Polisi menyatakan bahwa hasil penyelidikan mengarah pada sebab pemberitaan yang ditulis oleh korban terkait dugaan korupsi anggaran proyek Sekolah Internasional di Kabupaten Bangli. Selain pada polisi Bangli, juga melakukan koordinasi dengan RSUP Sanglah terkait hasil visum mayat korban.
AJI menyebut bahwa pembatalan remisi yang diberikan kepada Susrama bukanlah kado yang diberikan oleh Jokowi, melainkan perjuangan keras yang dilakukan oleh komunits jurnalis nasional maupun internasional yang terlibat dalam perjuangan aksi dan adanya tanda tangan petisi sebanyak 45.000 dukungan dari masyarakat luas dan rekan-rekan jurnalis. Ditanya mengenai persoalan Kebebasan Pers Era Jokowi, Anwar menyebut bahwa Kebebasan Pers di era tersebut masih menggunakan UU Pers No 40 Tahun 1999.
Ia menyatakan bahwa penyelesaian kasus pers dirasa masih ada yang belum sesuai dengan UU Pers tersebut. Harapan kedepannya, Dewan Pers mampu menjalankan fungsi sebagaimana mestinya untuk melindungi kinerja profesional jurnalis.
Secara umum, pers dirasa telah mendapatkan hak mengenai Kebebasan Pers. Akan tetapi jurnalis sendiri dirasa masih belum independent. Hal itu disebabkan karena masih adanya kepentingan politik serta kekuatan pemilik modal media. Sehingga menjadi tugas bersama, terutama Dewan Pers untuk membangun Pers Indonesia yang lebih sehat.
*) Atmimlana Nurrona, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam