Gus Muwafiq bersama Rektor IAIN Kudus beserta jajarannya dalam acara Pramuka IAIN Kudus bersholawat, Kamis (08/09/2022). (Foto: Humas IAIN Kudus) |
Lebih dari seminggu lalu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka IAIN Kudus mengadakan selawat bersama Gus Muwafiq dan dimeriahkan oleh jamiyah Rebana al-Mubarok Qudsiyyah Kudus. Acara ini menjadi perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Racana Sunan Kudus – Rabi’ah al-Adawiyyah yang ke-36 serta Reuni Akbar Alumni 2022. Sebagai kampus keislaman, di samping mahasiswa IAIN Kudus juga menarik antusias khalayak dengan jumlah yang tidak sedikit.
Ini merupakan momen tepat mengingat bulan depan sudah memasuki bulan Rabi’ul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Satu minggu lebih berlalu, tetapi ada hal yang perlu kita renungi bersama tentang selawat terutama dalam konteks keIndonesiaan.
Mengapa Selawat?
Umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah salat 5 waktu dalam sehari. Dalam salat, ada bacaan yang wajib dibaca yakni tahiyat akhir selain takbiratul ihram, surat al-Fatihah, dan salam. Setidaknya, itu menurut jumhur ulama syafi’iyyah. Pada tahiyat akhir ada bacaan selawat yang bunyinya: “Allaahumma shalli ‘Alaa Muhammad, wa ‘Alaa Aali Muhammad. Ka maa Shallaita Alaa Ibraahiim wa Alaa Aali Ibraahiim. Wa Baarik ‘Alaa Muhammad wa Alaa Aali Muhammad. Kamaa Baarakta Alaa Ibraahiim Wa Alaa Aali Ibraahiim...”.
Ini mengindikasikan bahwa secara tidak langsung dalam sehari umat Islam diwajibkan membaca selawat sebanyak 10 kali, jika dihitung berdasarkan jumlah salat 5 waktu dikalikan 2 bacaan selawat yang terdapat dalam tahiyat. Artinya, salat tidak terlepas dari selawat. Bahkan kalau diperhatikan tidak hanya salat wajib, melainkan salat sunnah pun ada selawatnya. Sudah bisa dilogika bahwa selawat itu penting.
Dalam tradisi tasawuf, selawat dapat menjadi washilah atau perantara antara hamba dengan Tuhan. Hampir dan bahkan semua tarekat tidak terlepas dari selawat. Sehubungan dengan itu, Syeikh Yusuf ibn Ismail dalam kitabnya Sa’dah ad-Darain memberikan penjelasan manfaat selawat. Pertama, jalan paling dekat menuju Tuhan di akhir zaman adalah dengan memperbanyak selawat di samping istighfar. Kedua, selawat dapat menerangi hati. Ketiga, berbeda dari dzikr yang memerlukan seorang guru spiritual (mursyid) agar memperoleh manfaat darinya, tanpa guru pun selawat bisa sampai. Keempat, kebanyakan ulama sependapat ada amal yang diterima dan tidak, terkecuali selawat. Setidaknya, empat poin tersebut sudah menunjukkan betapa luar biasanya selawat.
Berbagai Macam Selawat
Kemudian tersimpan pertanyaan, selawat macam apa yang harus dibaca? Bukankah ada beraneka macam jenis selawat? Tidak bisa dipungkiri memang dan bahkan dikatakan ada beberapa selawat yang secara khusus ditujukan untuk hal tertentu. Sebagaimana selawat thibbil qulub, yakni selawat yang umumnya ditujukan sebagai obat hati. Kemudian ada selawat badar, selawat nariyyah, dan seterusnya.
Barangkali demikian, jika kita perhatikan penamaan-penamaan tersebut sesungguhnya adalah variasi atau hal baru. Dari yang bacaan awalnya “allahumma sholli ‘ala sayyidina muhammadin” kemudian ditambahi dengan “thibbil qulub wa da wa iha...”. Meskipun hal itu variasi, bukan berarti tidak boleh. Karena yang mengarang selawat tersebut tidak sembarang orang, melainkan alim ulama, yakni Syaikh Ahmad ibn Ahmad ibn Ahmad al-Adawi al-Maliki al-Khalawati al-Dardir. Catatan lain, selawat tersebut dikarang oleh Habib Abu Bakar ibn Abdullah ibn Alwi ibn Abdulloh ibn Tholib al-Athos.
Adanya berbagai macam selawat tidak menjadikan kita harus bingung selawat mana yang harus dibaca. Masalahnya adalah ketika tidak pernah membacanya. Artinya, sebenarnya membaca selawat manapun boleh, tidak ada larangan baik yang bacaannya panjang dan pendek. Bacaan yang pendek seperti “shallahu ‘ala muhammad” dan yang panjang “allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammad wa ‘ala aali sayyidina muhammad”. Terpenting adalah esensi kita membaca selawat itu untuk apa. Akan lebih bagus kalau kita menyadari membaca selawat sebagai wasilah menuju Allah dan semoga mendapat syafaat Nabi.
Menjadi Kebutuhan
Ada alasan mengapa kita perlu belajar istiqamah membaca selawat. Dalam konteks keindonesiaan, ada banyak fenomena yang tidak bisa kita tutupi atau pura-pura tidak tahu. Sebagaimana media sosial adalah sarang dan alat viralisasi kebencian dan adu domba terutama yang berkaitan dengan agama dan politik. Kemudian dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita temui kekerasan, pemerkosan, dan seterusnya. Selanjutnya dalam ranah sumber daya alam, kita dapati hutan semakin hari semakin gundul, minim sekali reboisasi.
Faktisitas seperti itu tampak tidak terelakan sehingga bukan tidak mungkin kita akan merasa “dunia semakin hari semakin kacau”. Belum lagi ditambah isu-isu lainnya. Tak jarang saudara kita khususnya yang muda terkena depresi dan tekanan akibat huru-hura dunia, baik dunia maya maupun nyata. Sebagai otokritik, sebenarnya bukankah masalah itu juga terletak dalam diri kita?
Tampaknya kegelisahan kita terhadap dunia bisa disebabkan dengan ketidaksinkronan antara pikiran dan hati terutama dalam melihat realitas sekitar. Pikiran dan hati bingung kepada siapa kita percaya dan bagaimana menanggapi realitas. Oleh karenanya, hati menjadi gelap. Maka amat wajar apabila diri kita bisa hilang arah. Dengan demikian, tidak berlebihan, apabila membaca selawat adalah kebutuhan kita bersama. Mudah-mudahan dengan selawat kita diberi hidayah oleh Allah dan mendapat syafaat Nabi di dunia dan akhirat.
*)Penulis adalah Peminat Filsafat dan Sosial Keagamaan, Alumnus Program Studi Akidah Filsafat Islam IAIN Kudus jejaknya dapat diikuti di IG @jean_francois_lyotard
Sumber Bacaan
Sokhi, Huda. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah. Yogyakarta: LKiS, 2008.
Yusuf bin Ism a’il. Sa’adah ad-Darain. Beirut-Libanon: Dar al-Fikr. T.t.
https://iainkudus.ac.id/berita-58812-iain-kudus-bersholawat-hadirkan-gus-muwafiq.html
https://islam.nu.or.id/shalat/bacaan-bacaan-yang-wajib-ada-dalam-shalat-ly9Xs