Bicara folklor di panggung Ngepringan Kampung Budaya Piji Wetan, Lau, Dawe Kudus. (Foto: Anas/Paragraph) |
PARIST.ID, Kudus - Bicara mengenai folklor akan ada dua poin yang digaris bawahi, nilai sosial dan potensi sosialnya. Kata Abdul Jalil selaku pemateri dalam acara Tapangeli: Muria Punya Cerita (Untuk) Apa? di Kampung Budaya Piji Wetan, Sabtu (01/10/2022).
Dosen IAIN kudus sekaligus Sekretaris Pemangku Punden dan Belik Kabupaten Kudus itu memaparkan, folklor mempengaruhi fact of social life yang menggerakkan nilai sosial sehingga menjadi back up filosofi yang diperjuangkan.
"Realitanya folklor mempengaruhi nilai sosial, fakta sosialnya seperti itu. Dan didukung filosofi nilai. Terus dikelola menjadi social capital yang memunculkan branding, identitas, cita-cita, harapan dan ekspektasi," paparnya.
Pemateri berikutnya, Peneliti Folklor dan Dosen Universitas Muria Kudus, Kanzunnudin mengatakan ada tiga jenis folklor. Pertama folklor lisan yang berupa mitos, dongeng, dan legenda. Kedua folklor setengah lisan seperti tradisi buka luwur dan yang ketiga folklor non lisan dalam bentuk gebyok dan kuliner.
"Folklor itu kekayaan yang luar biasa, tinggal bagaimana kita mengolah dan mengemasnya," ujarnya.
Ia menjelaskan Kudus sebagai kabupaten terkecil di Jawa Tengah yang maju di bidang pendidikannya dari bawah sampai Universitas. Hal ini merupakan akibat positif dari folklor yang mempengaruhi nilai sosial pendidikan masyarakatnya.
"Jepang dalam sejarahnya, setelah kalah dalam perang dunia ke dua. Jepang mengumpulkan guru dan mengemas tradisi budaya yang dikemas menarik," ungkapnya.
Sekarang produk hiburan di negara korea (K-Pop dan Drakor) mengangkat folklor dan budayanya sebagai usaha untuk mengenalkan budaya Korea di mata dunia. namun orang Indonesia hanya bisa menikmati kulitnya saja.
Staff Khusus Bupati, Umar menuturkan Belik dulu dimanfaatkan masyarakat sebagai kebutuhan ibadah dan kegiatan sehari-hari yang bisa dirasakan manfaatnya.
"Folklore yang tertanam dan tumbuh di masyarakat sebagai nilai sosial. Butuh kajian yang kuat dan aktivasi yang jelas dengan road map dan step untuk bisa di jadikan fakta. Tapi ingat fakta beda dengan realita, paparnya.
Tapangeli sebagai ideologi dan yang berhasil melakukannya bergelar Satrio Pinandito. Tapa yang artinya menyerahkan jiwa kepada pencipta. Ngeli yang berarti (Jasmani) darma atas kewajiban diri melakukan peran sesuai tanggungjawabnya.
"Bagaimana Jiwa dan jasmani bisa selaras dalam laku. Bukan soal rasionalisme, namun langkah manusia yang terombang-ambing tanpa arah di tengah samudra tanpa perahu dan perbekalan," pungkasnya.
Moderator sekaligus penggagas acara Tapangeli, Jesy segitiga berharap atas terselenggaranya acara ini, alam sebagai pondasi manusia untuk terus hidup dan terjaga. Mengingat eksploitasi dan dampak yang membuat belik (sumber mata air) di kawasan Muria mati.
"Folklore yang berfungsi sebagai alat yang membatasi manusia untuk tidak merusak alam bisa terus terpelihara dari generasi ke generasi," katanya.
Editor : Na