Rianto, Seniman muslim asal Banyumas ketika sedang menari sebagai penari Lengger Lanang (foto: Istimewa) |
Oleh : Tsania Laila Magfiroh*
–
Rianto adalah seorang seniman, tepatnya seorang penari Lengger Lanang.
Sementara dalam kehidupan beriligi, dia adalah pemeluk agama Islam. Rianto, (41).
adalah seorang seniman muslim di Banyumas.
Sebagai
muslim, Rianto sama dengan laki-laki muslim lainnya. Tidak ada bedanya. Dia
berdoa dan menjalankan salat lima waktu.
Seharusnya,
Rianto bisa menjalankan ibadah seperti umat muslim lainnya. Namun, nyatanya
tidak. Banyak diskriminasi yang dia hadapi. Rianto mulai bertanya-tanya, apa
yang salah dari dirinya?
Rianto
kerap mendapatkan pandangan aneh dari orang-orang di sekitarnya. Mereka melihat
Rianto bukan laki-laki, tapi banci. Tatapan dan pandangan tersebut bermula dari
Rianto kecil yang memang sudah senang menari dan membawanya menjadi seniman
Lengger Lanang seperti sekarang ini.
Kesenian
tari Lengger Lanang yang berasal Banyumas ini memiliki ciri khas unik. Sebuah
tarian yang diperankan oleh kaum laki-laki dengan berpakaian dan berdandan
seperti halnya perempuan. Akhirnya tarian Lengger Lanang ini dianggap tabu dan
menyimpang oleh masyarakat pada umumnya. Pandangan inilah yang ingin dikikis
oleh Rianto sebagai seniman Lengger Lanang dan juga maestro Lengger Lanang
Banyumas, dalam mematahkan stigma di masyarakat mengenai lengger langang dan
para seniman lengger lanang.
“Saya
dari kecil sudah disebut banci oleh teman-teman, karena kesukaan saya dengan
menari, jadi cibiran stigma bermacam-macam sudah biasa saya dapat,” ungkapnya.
Rianto
kerap kali mendapatkan cibiran ataupun stigma dari masyarakat yang dianggap
banci, ataupun sebagai laki-laki yang feminim karena kecintaannya dengan tari
dan Lengger Lanang. Masyarakat menganggap penampilan keperempuaan yang kerap
kali Rianto tampilkan dengan tarian Lengger Lanang itu sudah bertentangan
dengan agama. Penyerupaan perempuan dan perlawanan kodrat yang ada di
masyarakat membuat Rianto distigma dan dianggap melawan aturan agama. Belum
lagi beberapa prosesi ritual yang harus dijalankan seorang penari Lengger.
Membuat masyarakat menganggap semua yang dilakukan Rianto bertentangan dengan
agama.
“Saya
dianggap LGBT, sesat karena melawan ketentuan agama, hal-hal semacam itu sering
dan biasa tapi saya biarkan saja,” jelasnya.
Pandangan
buruk yang tercipta di masyarakat memang sudah dianggap risiko profesi yang
diterima oleh Rianto. Rasa sedih dan kecewa memang dirasa oleh Rianto, namun,
hal itu tidak dianggap beban yang harus dipermasalahkan berlarut-larut. Rianto
tetap terus berkarya dengan Lengger Lanang dan memperkenalkan Lengger Lanang
kepada masyarakat. Harapannya dengan karyanya masyarakat mengenal dan tidak
banyak curiga dengan kesenian Lengger Lanang ini.
Saat
menjadi Lengger juga diperlukan proses yang harus dilakukan oleh pelaku
Lengger, misalnya mandi 7 sumber atau sumur yang berbeda diambil airnya, mandi
kembang, berpuasa dan tidak makan makanan yang terkena api atau dimasak selama
40 hari. Dalam satu grub lengger jika ingin mendeklarasikan diri sebagai grup
lengger maka mengadakan midang, seperti lengger barangan. Kemudian ada syarat
lain berpuasa senin kemis, hadir ke panembahan silaturahmi Lengger atau leluhur
untuk mendoakan leluhur yang sudah meninggal.
Rianto
mengungkapkan bahwa kini penari Lengger Lanang sudah hampir tidak ada, karena
dipandang sebagai penari Lengger Lanang muncul stigma-stigma yang dihubungkan
dengan LGBT dan hal-hal yang tidak wajar. “Penari Lengger Lanang itu
sebelum-sebelumya malah tidak tahu apa itu LGBT, kita menari ya sesuai dengan
kebudayan dan tradisi kita,” ungkapnya.
Akhirnya
kesenian lengger ini sudah jarang ditampilkan karena adanya image dan
stigma yang muncul saat tahun 90-an, walau sebelumnya masing cukup sering
dilakukan. Hingga dicekal karena stigma di masyarakat. Anggapan-anggapan mengenai
Lengger Lanang sebagai kebudayaan yang bertentangan oleh agama dan stigma buruk
yang juga disematkan kepada seniman Lengger Lanang, membuat para seniman
Lengger Lanang dilingkupi kecemasan dalam beribadah dan beragama. Sehingga
mereka tidak bebas menjalan ibadah di tempat umum dan terus menerus dilumuti
rasa was-was dan berdosa akibat tidak bisa menjalankan ibadah. Rianto juga
menganggap masyarakat belum mengenal keseharian para seniman Lengger Lanang dan
berharap masyarakat tahu jika mereka juga sama seperti masyarakat pada umumnya
yang memiliki hak dan kewajiban dalam beribadah.
“Maka dari itu saya mencoba meregenerasi para
penari Lengger Lanang untuk mendamaikan tubunya. Tetapi masyarakat itu sendiri
memandang tubuhnya seperti perempuan, atau laki-laki kok menyalahi kodrat.
Mereka ketika di atas panggung berperan mempresentasikan tubuhnya pada saat
menari saja, tetapi sementara di luar panggung kehidupannya seperti manusia
biasa dan beribadah sesuai dengan agama kepercayaan kita, karena saya muslim ya
tetap salat seperti laki-laki umumnya,” tambah Rianto.
Rianto
menuturkan banyak faktor yang membuat masyarakat memberikan stigma buruk dan
cibiran terhadap Lengger Lanang salah satunya faktor pengetahuan. Masyarakat
belum tahu betul mengenai Lengger dan tubuh Lengger. “Kalo mereka sudah paham
betul dan mengalami pengalaman itu prosesnya, mungkin tidak langsung untuk
menge-justice,” ungkapnya.
Meski
begitu Rianto juga mengungkapkan banyak generasi saat ini yang masih ingin
belajar tentang kesenian Lengger Lanang. Dengan berdirinya rumah Lengger dan
film dari Garin Nugroho “Kucumbu Tubuh Indahku” yang terinspirasi dari
perjalanan tubuhnya yang akhirnya menjadi penari internasional, sangat
berdampak dan memiliki efek yang luar biasa untuk orang mengenal dan belajar
Lengger kembali. Sekarang Rianto sudah memiliki rumah Lengger yang mewadahi
aktivitas berkesinian mereka.
“Cara
saya melawan justice ya dengan prestasi, saya menyampaikan kehidupan
saya dengan prestasi, masyarakat akan melihat hasil dari kesenian ini dengan
prestasi yang telah kita peroleh,” ungkapnya dengan semangat.
Ia
berharap kesenian Lengger Lanang tak hanya dikaitkan dengan bentuk-bentuk
visualnya, melainkan harus dipahami tentang filosofi yang terkandung
didalamnya, “Masyarakat dan sosial yang tidak tahu wajar, tapi kita juga
memiliki tanggung jawab memberi tahu. Maka dari itu saya bertugas mengabarkan
pada seluruh dunia bahwa lengger lanang itu tidak menjadikan strata dan
membatasi masalah gender,” ungkapnya.
Menurut
Sofi Cipta Andini, mahasiswi Institute Seni Indonesia (ISI) Surakarta,
berpendapat Lengger Lanang bagi setiap orang pasti berbeda-beda. Menurut
seniman yang sudah paham mengenai Lengger Lanang pasti menganggap tarian ini
antik. Berbeda dengan masyarakat yang berpandangan menjadi seniman Lengger
Lanang sudah tidak menjadi laki-laki sejati, banci, bahkan dinilai sampai tidak
suka dengan perempuan. Padahal dalam kehidupan sehari-hari juga seniman Lengger
Lanang sama saja seperti masyarakat umum tetap berkeluarga dan beribah selayaknya
manusia pada umumnya.
“Setiap
profesi pasti punya risikonya masing-masing, begitu juga dengan menjadi lengger
lanang itu sudah menjadi risiko yang harus ditanggung,” ungkap mahasiswi asal
Banyumas.
Dosen Pendidikan Agama Islam
Fakultas Agama Islam dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, Chusniatun
mengungkapkan salah satu penyebab yang membuat sebagian masyarakat tidak
menerima sampai terjadi stigmatisasi atau bahkan diskriminasi, tentunya tentang
narasi agama, namun selain itu juga disebabkan ingatan-ingatan sejarah masa
lalu yang dipahami oleh sebagian masyarakat bahwa Lengger Lanang itu tidak baik
dan sempat dilarang.
“Mungkin masyarakat masih
terbawa suasana masa lalu yang memahami kesenian Lengger Lanang itu tidak baik,
padahal Lengger Lanang itu hanya sebuah tarian dan kesenian saja,” ungkapnya.
Chusniatun juga memberikan
solusi pandangan agar masyarakat menerima dan para seniman Lengger Lanang tetap
bisa berkarya dan bebas dalam beragama tanpa ada stigma negatif yang melekat
pada seniman Lengger Lanang. Terdapat dua poin cara yang Chusniatun jelaskan,
pertama mengenai trobosan dan modifikasi tarian Lengger Lanang agar bisa
diterima dan dipahami oleh masyarakat secara luas. Kedua dengan kolabolasi dan
sosialisasi kepada masyarakat mengenai tari Lengger Lanang yang merupakan hanya
bentuk tarian saja, agar masyarakat paham akan tarian Lengger Lanang itu.
“Sosialisasikan kepada
masyarakat tentang Lengger Lanang agar masyarakat itu tahu kalo Lengger Lanang
ya hanya sebuah kesenian tari dan para senimannya juga seperti manusia normal
pada umumnya, sosialisasi ini bisa berkerjasama dengan dinas pariwisata atau
guru kesenian untuk menjelaskannya kepada masyarakat,” ungkapnya.
Babak
Cerita Lengger Lanang
Rianto
bercerita Lengger Lanang lahir sebagai tradisi dari masyarakat jelata Banyumas
yang lahir dari rahim kaum petani. Kesenian lengger ini dulunya dilakukan oleh
kaum laki-laki untuk upacara ritual kesuburan, mereka berdendang, menyanyi
dengan berkalung kelontong atau lonceng sapi yang mereka gunakan untuk menari,
kemudian dipakaikan ke kerbau untuk membajak sawah. Suara itulah dianggap
sebagai mantra agar tanah menjadi subur dan hasil tani menjadi melimpah.
Kemudian pada perayaan panen maupun padang bulan atau bulan purnama, bersih
desa, dan pernikahan sering ditampilkan kesenian Lengger. Jadi kesuburan dalam
konteks ini dapat diartikan sebagai kemakmuran masyarakat.
Bahasa
Jarwodosok kata Lengger sendiri terdiri atas kata leng yang adalah
lubang dan ngger yang artinya jengger yang berarti mahkota ayam jantan
perlambang laki-laki. Lengger dapat diartikan sebagai ungkapan seperti
perempuan ternyata laki-laki. Lengger Lanang sendiri memiliki sejarah yang
sangat panjang dan kompleks. Pada abad ke 16 Mangkunegaran ke 7 memerintahkan
utusannya untuk menjelajah nusantara dan menulisnya. Kemudian sampailah
perjalanan utusan itu di Banyumas dan menemukan kesenian Lengger lanang maka
ditulis pada Serat Centihini pada abad 13-16.
Saat
periode Islam di tanah Jawa dengan Islamisasi Demak, tradisi ini kembali
dilakukan oleh laki-laki karena dianggap jika tradisi itu dilakukan oleh
perempuan hanya sebagai hiburan maka tidak diizinkan dan dianggap bahaya dan
riskan. Saat itu penari Lengger tidak berdandan sebagai perempuan namun jogetan
tubuhnya meleburkan antara feminim dan maskulin dalam tubuh laki-laki, tidak
membatasi gender dan mendamaikannya. ”Karena kalau hati dan tubuhnya damai
menjadi medium perantara bumi dan langit ibaratnya pada sang pencipta,” tambah
Rianto.
Kesenian Lengger Lanang dari Banyumas yang dipertunjukkan
oleh laki-laki yang berdandan laiknya perempuan ini bertujuan memberikan
kesadaran akan peran perempuan yang tidak dapat dipandang sebelah mata, melalui
peleburan maskulinitas dan feminimitas di dalamnya. Dibalik Kesenian Lengger
Lanang yang taat hikayat, tersimpan kesadaran persetaraan gender dalam
masyarakat meskipun secara tersirat. Bukan untuk melawan kodrat dan melawan
kepercayaan agama tertentu, Lengger lanang bagian dari ekspresi tubuh untuk
mencintai ciptaan-Nya melalui tarian. [ ]
*) Penulis merupakan mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Surakarta yang aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Pabelan