Oleh: Hasyim Asnawi*
Belakangan
ini, saya sering menemui cukup banyak berita-berita atau informasi yang tidak
menambah semangat orang lain, tetapi justru menurunkan semangat dan membuat
sedih. Bad news is good news, begitu katanya. Sepertinya istilah ini
sudah menjadi ‘dewa’ bagi rata-rata wartawan untuk mendulang informasi sebagai
bahan berita.
Menulis
berita memang harus berdasarkan fakta atau kejadian nyata di lapangan. Entah
itu kabar baik, kesenangan, gembira hingga hal-hal pahit dalam hidup tak luput
dari pemberitaan. Apalagi, memang akhir-akhir ini kejadian yang kita sebut
sebagai ‘bencana’, ‘tragedi’, ‘musibah’ masih banyak kita temui menimpa
seseorang.
Hujan dengan intensitas tinggi di banyak daerah yang menyebabkan banjir, tanah longsor, manusia tenggelam, kemacetan, atau musibah seperti kecelakaan, kebakaran, dan sebagainya selalu diromantisasi oleh wartawan demi menunjang page view dan kunjungan pembaca. Saya tak mengatakan berita seperti ini salah. Media sebagai pemyambung lidah masyarakat memang sudah sepatutnya memberitakan atau mengabarkan informasi dan kejadian di sekitarnya. Namun, jika kita mau mengamatinya lebih dalam, bukankah berita-berita semacam itu terlalu massif dan memenuhi beranda kita?
Bukan
Sekadar Fakta
Fungsi
media seharusnya tak hanya sekadar sebagai perantara sebuah fakta kepada
publik. Media, menurut hemat saya seharusnya juga berperan dalam menciptakan
ruang publik dan wacana yang positif bagi khalayak banyak. Satu hal penting
yang masih lekat di ingatan saya ketika berbincang dengan salah satu wartawan
senior, peran media yang tak boleh ditinggalkan adalah bagaimana ia (media,
red) mampu membawa dan menggiring masyarakat agar tidak terus-terusan dibuat
khawatir, cemas, sedih, kecewa, putus asa dan hal-hal negatif lainnya. Media
juga harus memberitakan hal-hal positif dan kabar baik kepada masyarakat.
Menyampaikan
berita berdasarkan fakta sudah barang tentu penting diperhatikan oleh setiap
jurnalis. Namun, hal yang tak boleh dilupakan oleh jurnalis adalah
keberpihakannya. Lantas dimana keberpihakan seorang wartawan atau media jika
framing yang dibuat lebih banyak -untuk tidak menyebutnya selalu- menampilkan
hal-hal negatif dibandingkan hal yang positif. Di sinilah kepekaan dan nurani
seorang wartawan diuji.
Ibarat
pisau bermata dua, wartawan harus pandai-pandai memilih informasi untuk ditulis sebagai berita. Apakah wartawan akan
menulis apa saja yang menjadi keinginan pasar, tentu ini akan membantu
menaikkan jumlah kunjungan dan profit media. Atau seorang wartawan lebih
memilih untuk memberitakan berita positif meskipun tidak sesuai dengan ramainya
pasar. Ataukah ia akan menciptakan pasarnya sendiri untuk pembaca, kecil
kemungkinannya, namun bukan berarti tidak mungkin. Pastinya, pilihan ini
kembali ke hak prerogratif masing-masing wartawan dan medianya.
Mari kita ambil contoh. Banjir misalnya. Apa yang terjadi ketika semua media selalu memberitakan kejadian tersebut selama berhari-hari. Bagaimana perasaan masyarakat yang menimpa musibah itu secara langsung. Rumahnya terendam banjir,, anak-anak tidak bisa bersekolah, petani yang merugi ratusan juta, kebutuhan pokok tak tercukupi, dan sebagainya. Jika ditambah dengan pemberitaan dengan nuansa yang sedih dan berlebihan, bisa-bisa mereka akan tambah putus asa, dan sulit lepas dari keterpurukan itu. Kekhawatiran akan selalu menghantui mereka. Dalam teori connecting, Edward L. Thorndlike menyebutkan bahwa rasa itu sesungguhnya akan memengaruhi secara langsung dan tidak langsung pada diri dan orang sekitarnya.
Etika
Jurnalistik
Di
sinilah etika jurnalistik diperlukan. Amir Machmud NS dalam bukunya yang
berjudul ‘estetika jurnalistik’ itu menekankan bahwa etika menjadi roh yang ditiupkan
oleh “kebenaran”. Etika menjadi pertimbangan dalam memilih dan memutuskan
manakala seorang wartawan mengikuti rangkaian proses berjurnalistik dan
bermedia.
Artinya,
seorang wartawan harus peka dan mempertimbangkan mana yang penting untuk
diberitakan dan mana yang lebih baik tidak diberitakan. Pertimbangan ini tentu
berhubungan dengan hati nurani seorang wartawan, kepekaannya, dan nalarnya
dalam menerka dampak baik buruk kedepannya dari berita yang ia tulis. Etika ini
akan menandakan sejauh mana suara hati seorang jurnalis berpihak dan
bertanggung jawab.
Oleh
karena itu, jurnalisme positif dan etika jurnalistik harus mampu dipadupadankan
bagi seorang jurnalis. Jurnalisme positif, dengan mengabarkan hal-hal positif,
prestasi dan kabar baik tentu bisa mengugah semangat dan membawa kegembiraan
kepada masyarakat. Di samping itu, kita juga perlu menjaga keberimbangan
pemberitaan kepada publik, kode etik dan nilai-nilai jurnalisme itu sendiri.
Sehingga,
iklim media akan terasa lebih sehat dan menimbulkan positive vibes bagi
pembaca. Ditambah dengan penyampaian pemberitaan dan narasi peristiwa yang
berpilar pada keindahan, maka estetika jurnalistik yang diharapkan lambat laun
akan bisa diwujudkan. Semoga.
Referensi:
https://timesindonesia.co.id/page/jurnalisme-positif
https://suarabaru.id/2020/05/13/membedah-tarekat-jurnalistik-amir-machmud-ns
pengalaman
pribadi
*Hasyim
Asnawi, Jurnalis Suara Nahdliyin Kudus
Bergiat di komunitas paradigma institute, kampung budaya piji wetan dan aktif menulis di blog pribadinya. Dapat dihubungi melalui Instagram @hasyimasw_ atau email: hasyimasnawi4@gmail.com