Sumber: telusuri.id |
Sejarah kejayaan Islam Jawa di masa lalu bukan dongeng kosong,
melainkan nyata adanya sebagai fakta sejarah. Bukti yang menyatakan keberhasilan
dakwah walisongo salah satunya adalah Masjid Agung Demak. Masjid
Agung Demak sudah umum diketahui sebagai peninggalan bersejarah yang didirikan
oleh Raden Patah dengan bantuan Walisongo tepatnya di Kampung Kauman,
Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Hal ini dibuktikan dengan
koleksi Sokoguru empat, yang terdiri dari sokoguru Sunan Kalijaga, Sunan
Bonang, Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel. Selain menjadi pusat aktivitas
keagamaan, Masjid Agung Demak juga sering dijadikan kajian observasi oleh para
peneliti sebab di museum Masjid Agung Demak menyimpan koleksi mushaf Al-Qur’an
kuno yang menarik untuk dikaji.
Museum Masjid Agung Demak menyimpan sekitar 14 peninggalan mushaf
Al-Qur’an kuno yang menurut Ali Akbar dalam catatan spesifikasi mushaf
merupakan wakaf dari masyarakat (Mushaf Kuno Nusantara Jawa, 2019). Koleksi
mushaf kuno di Museum Masjid Agung Demak terlindungi oleh kaca etalase,
pengunjung hanya dapat melihat dan mengamati dari permukaan. Hal ini dilakukan
atas dasar pemeliharaan otentitas dan hanya bisa diakses pada kesempatan
tertentu. Satu mushaf yang mencuri perhatian pengunjung museum koleksi mushaf
kuno adalah mushaf Al-Qur’an 9 sebagaimana tertera pada label etalase.
Manuskrip yang telah lama diarsipkan ini memiliki kode nomor DK-
MAD/MMAD.9/AQ/2023 dan merupakan salah satu koleksi berharga di bawah pengelolaan
Takmir Masjid Agung Demak. Manuskrip ini ditulis di atas kertas Eropa, dengan
ukuran naskah 33 x 20,5 cm dan ukuran teks 22,5 x 12 cm. Meskipun beberapa
bagian naskah hilang dan pinggir naskah bergeripis serta ada lembaran yang
berlubang, teks masih dapat terbaca dengan baik. Sampul naskah terbuat dari
kulit yang masih utuh, menunjukkan ketahanan bahan yang digunakan pada masanya.
Di dalamnya terdapat 680 halaman yang setiap halaman berisi 15 baris teks.
Tidak ada penomoran halaman, namun terdapat kata alihan yang memudahkan
pembacaan, ditulis menggunakan tinta hitam untuk teks dan merah untuk kepala
surah, awal juz, tanda tajwid, catatan pias, dan lingkaran akhir ayat,
menunjukkan variasi dalam penulisannya. Meskipun jenis khat tidak diketahui,
adanya illuminasi menambah keindahan visual naskah ini.
Sumber: Dokumentasi pribadi |
Manuskrip ini merupakan salinan Al-Qur'an, dimulai dengan "Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillāhirabbil 'alamin", menandakan bahwa penulisan dilakukan
melalui tartib mushafi, yaitu susunan dengan mengikuti urutan mushaf
Utsmani dan diakhiri dengan "wamraatuhu hammalata..." yang
merupakan bagian terakhir surah Al-Masad. Di bagian depan mushaf terdapat
penggalan catatan samar dalam huruf Jawa, yang berbunyi, “Punika Qur‘an
kagunganipun Raden Ayu …dirja tahun Welandi 1783. Kaparingaken Rahaden Bagus
Prawata. Nalika dipunparingake tahun Welandi [?], yang berarti Qur’an ini milik
Raden Ajeng …dirja tahun Belanda 1783. Diberikan oleh Rahaden Bagus Prawata.
Ketika diberikan dalam Tahun Belanda”
Manuskrip Al-Qur'an yang disimpan di Museum Masjid Agung Demak ini bukan hanya sebuah teks keagamaan, tetapi juga sebuah artefak budaya yang berharga. Kondisi fisiknya yang masih relatif baik, meskipun ada beberapa kerusakan, menunjukkan kualitas material yang digunakan serta ketelitian dalam penyimpanannya. Manuskrip ini adalah bukti nyata dari dedikasi dan ketekunan para penulis dan penyalin Al-Qur'an di masa lalu, serta mencerminkan pentingnya warisan tulisan tangan dalam tradisi Islam.
Museum Masjid Agung Demak terus menjaga dan merawat manuskrip ini
sebagai bagian dari warisan budaya dan keagamaan. Melalui perawatan yang
teliti, diharapkan manuskrip ini dapat tetap lestari dan menjadi sumber ilmu
pengetahuan bagi generasi mendatang.
Kesimpulan
Manuskrip Al-Qur'an di Museum Masjid Agung Demak adalah salah satu peninggalan berharga yang memberikan kita wawasan tentang sejarah Islam di Indonesia, sekaligus menjadi bukti eksistensi dakwah Islam oleh kesultanan Demak di masa lalu. Dengan segala kekurangan fisiknya, naskah ini tetap menjadi simbol keteguhan dan kekayaan budaya yang tak ternilai harganya.