Oleh: Arif Rohman
Tahun 2025 diperingati sebagai Seabad Pram (1925-2025). Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis terbesar Indonesia, dikenal tidak hanya karena karya-karyanya yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, tetapi juga karena keteguhannya dalam merekam sejarah dan merawat ingatan bangsa. Ia bahkan pernah 6 kali masuk nominasi Nobel Sastra, meskipun penghargaan itu tak pernah diraih.
Merawat Ingatan Lewat Kliping
Pram bukan hanya seorang pengarang, tetapi juga seorang pengarsip. Ia mengumpulkan dan menyusun berbagai fakta yang sering kali luput dari catatan sejarah resmi. Salah satu contohnya adalah bukunya Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (KPG: 2001), yang mengungkap kisah pilu perempuan Indonesia yang menjadi korban eksploitasi Jepang di masa Perang Dunia II.
Buku ini ditulis dalam bentuk surat kepada para remaja, khususnya gadis-gadis muda, agar mereka memahami sejarah yang sering disembunyikan. Pram menyebutnya sebagai "pernyataan protes" terhadap kejahatan yang terjadi, meskipun peristiwa itu telah berlalu puluhan tahun.
Di masa penjajahan Jepang, ada janji manis bahwa perempuan lulusan Sekolah Dasar akan dikirim belajar ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Kabar ini disebarkan dari mulut ke mulut oleh Sendenbu (Jawatan Propaganda), tanpa ada dokumen resmi yang mencatatnya. Namun, kapal yang seharusnya membawa mereka ke Jepang ternyata berbelok di tengah perjalanan. Nasib mereka yang sesungguhnya akhirnya terungkap: mereka dijadikan budak seks oleh tentara Jepang.
"Aku percaya kalian tidak akan suka menjadi korban bangsa apa pun. Juga tidak suka bila anak-anak gadis kalian mengalami nasib malang seperti itu. Artinya, kalian juga tidak akan suka bila ibu-ibu kalian—para perawan remaja pada tahun 1943-1945—menderita semacam itu," tulis Pram.
Yang lebih menyakitkan, sebagian besar korban berasal dari keluarga pejabat lokal—anak-anak lurah atau pegawai pemerintah saat itu. Ketika perang berakhir, banyak dari mereka tidak bisa kembali ke kampung halaman. Malu, trauma, dan kehilangan identitas, beberapa di antaranya akhirnya menetap di Pulau Buru, tempat yang kemudian juga menjadi tempat pembuangan bagi Pram dan para tahanan politik lainnya di era Orde Baru.
Kisah perempuan dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer mengingatkan saya pada cara Pram menampilkan perempuan dalam karya-karyanya yang lain. Dalam novel Bumi Manusia (Hasta Mitra:1980), misalnya, kita melihat sosok Nyai Ontosoroh, seorang perempuan yang meskipun dipinggirkan oleh sistem kolonial, memiliki pemikiran mandiri dan kekuatan untuk melawan.
Pram sering menempatkan perempuan sebagai simbol ketidakadilan sejarah. Ia menunjukkan bagaimana perempuan sering kali menjadi korban dari keputusan politik dan kekuasaan yang tidak berpihak kepada mereka. Namun, di balik penderitaan itu, Pram juga menghadirkan perempuan sebagai individu yang memiliki daya juang, yang mencoba melawan dengan segala keterbatasannya.
Mengapa Pram Penting?
Bagi mereka yang belum pernah membaca Pram, pertanyaan yang muncul mungkin adalah: Mengapa saya harus membaca Pram? Bagi saya karena Pram menulis bukan hanya untuk bercerita, tetapi juga untuk mengingatkan.
Pram menuliskan sejarah dari perspektif yang jarang dibicarakan. Ia bukan sejarawan, tetapi karyanya sering kali mengisi kekosongan dalam catatan resmi. Salah satu contohnya adalah Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, sebuah buku yang mengungkap kisah perempuan Indonesia yang dijadikan budak seks oleh tentara Jepang.
Tak sekadar laporan sejarah, buku ini menunjukkan Pram adalah suara bagi mereka yang tidak bisa bersuara. Pram menuliskannya dalam bentuk surat kepada para remaja, khususnya gadis-gadis muda, agar mereka tahu bahwa ada sejarah yang tidak boleh dilupakan. Kini, satu abad setelah kelahirannya, membaca Pram kembali menjadi sebuah keharusan. Di era ketika informasi begitu cepat berubah dan sejarah sering kali dimanipulasi, tulisan-tulisan Pram tetap relevan. Ia mengajarkan kita bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan juga cermin bagi masa kini dan masa depan.
Mungkin saya bukan pembaca setia Pram, tetapi dalam ingatan yang tersisa, saya memahami satu hal: Pram bukan sekadar menulis novel, ia menuliskan kebenaran. Kutipannya yang teringat, tentu saja "Adil sejak dalam pikiran". Dan di zaman ketika kebenaran sering kali disembunyikan, membaca Pram adalah sebuah cara untuk melawan lupa.
*) Aktif di komunitas menulis Kofiku (Komunitas Fiksi Kudus)